Rabu, 03 Agustus 2011

Fonologi Dan Morfologi


4. 2 Fonologi
            Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

4. 3 Morfologi
            Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.

MORFOLOGI

1.Pengertian Morfologi
Menurut Ramlan pengertian morfologi adalah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk bentuk kata serta perubahan bentuk kata serta perubahan bentuk kata terhadap arti dan golongan kata. Bentuk kata yaitu ;
•Kata dasar, contohnya sepeda
•Kata berimbuhan, contoh berepeda
•Kata majemuk, contohnya sapu tangan
•Kata ulang, contohnya berbondong2
Pembagaian bentuk kata menurut C.A. Mees yang berkebangsaan Belanda terdiri dari:
•Kata benda
•Kata kerja
•Kata sifat
•Kata ganti
•Kata bilangan
•Kata depan
•Kata sandang
•Kata Sambung
•Kata seru
•Kata keterangan.

Perbedaan golongan arti kata – kata tidak lain disebabkan oleh perubahan bentuk kata. Karena itu, maka morfologi, disamping bidangnya yang utama menyelidiki seluk beluk bentuk kata, juga menyelidiki kemungkinan adanya perubahan golongan arti kata yang timbul sebagai akibat perubahan bentuk kata. Arti kata ini misalnya, bersepeda dan sepeda, yang berarti sepeda, artinya benda yang mmilki roda dua yang dijalankan dengan cara dikayuh. serta bersepeda, artinya kegiatan menggunakan sepeda. Jadi arti kata hanya mengartikan kata tesebut. juga bisa dilihat dari sepeda dan bersepeda dengan diberi imbuhan maka kata sepeda dan bersepeda pun menjadi beda. Jos Daniel Perera meberi batasan morfologis (proses), yaitu Morfemis adalah proses perubahan dari golongan kata yang satu lalu berubah menjadi golongan kata yang lain akan tetapi dengan kata dasar yang sama. misalnya sepeda menjadi bersepeda arti (sanksekerta) hanya untuk kata dasar (sepeda), makna (arab), untuk menunjukan arti – arti imbuhan gramatikal, contohnya bersepeda dll.
 FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA
Pengertian Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Bidang Pembahasannya
Fonologi mempunyai dua cabang kajian,
Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
a)     fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b)     fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.
c)      fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu  kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.
1.  Fonologi dalam cabang Morfologi
Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks   {-kan}.
2.  Fonologi dalam cabang Sintaksis
Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam cabang Semantik
Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.
Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.

  1. Struktur Fonologi
    Struktur fonologi dalam bahasa tulis terutama sekali adalah struktur fonem yang membangun kata yang harus sesuai aturan fonotaktis bahasa Indonesia yang baku. Misalnya, bahasa Indonesia tidak mengenal deret konsonan rangkap ss, st, sh dalam sebuah suku kata. Oleh sebab itu, kata bahasa Inggris seperti process, test, dan cash, diserap dengan pelesapan konsonan terakhir menjadi proses, tes, dan kas. Demikian juga dengan deret vokal oo, sehingga kata balloon, saloon, dan cartoon diserap menjadi balon, salon, dan kartun.
    Struktur fonologi juga menjadi persoalan dalam kasus perubahan morfonemik, di mana pembentukan kata dengan afiks tertentu menyebabkan terjadinya perubahan fonem-fonem tertentu. Kasus ini dapat kita lihat pada proses afiksasi /meŋ/ pada kata dengan fonem awal /p/, misalnya kata pesona. Dalam hal ini, fonem /ŋ/ pada /meŋ/ akan melebur dengan fonem /p/ pada /pesona/ menjadi fonem /m/, sehingga bentuk turunan dari proses afiksasi {meng-} dan {pesona} adalah {memesona}.

b. Struktur Morfologis
Struktur morfologis adalah struktur terkecil yang dapat dianalisis dalam penggunaan bahasa tulis, khususnya dalam bahasa media massa cetak. Struktur morfologis melibatkan bentuk-bentuk kata yang dibedakan secara umum atas dua: bentuk bebas (morfem bebas) dan bentuk terikat (morfem terikat).
Bentuk atau morfem bebas wujud dalam seluruh kategori sintaksis (kelas kata). Kategori sintaktis mengelompokkan kata berdasarkan bentuk serta perilakunya yaitu: nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta kata tugas. Masing-masing kategori sintaksis dapat berdiri sendiri dalam sebuah kalimat (kecuali kata tugas) sesuai fungsi-fungsi sintaksis tertentu. Nomina memiliki fungsi sebagai subjek dan objek, verba memiliki fungsi sebagai predikat, adjektiva dan adverbia memiliki fungsi keterangan, dan kata tugas memiliki fungsi konjungsi dan preposisi.
Bentuk terikat atau morfem terikat wujud dalam semua bentuk afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks). Morfem terikat tidak dapat berdiri sendiri dalam bentuk apapun. Afiks digunakan dalam proses pembentukan kata turunan pada semua kategori. Misalnya, afiks {ber-} dengan nomina bunga menghasilkan verba turunan berbunga. Contoh lain, konfiks {ke-an} dengan adjektiva sedih menghasilkan nomina turunan kesedihan.
Kategori-kategori sintaksis bentuk turunan yang dibentuk dengan penggunaan afiks tertentu harus tepat agar dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Misalnya, konfiks {peng-an} dengan nomina dasar {rumah} akan membentuk nomina turunan proses {pengrumahan}. Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang diturunkan dengan proses afiksasi konfiks {pe-an} dengan nomina dasar {rumah} yang menghasilkan nomina turunan tempat {perumahan}.

A. Fonologi dan Bidang Pembahasannya
Bahwa bahasa adalah sisten bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari anggapan – bahkan keyakinan – ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apa pun (: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dan lainnya) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing-masing. Misalnya, fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, morfologi pada persoalan struktur internal kata, sintaksis pada persoalan susunan kata dalam kalimat, semantik pada persoalan makna kata, dan leksikologi pada persoalan perbendaharaan kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselediki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-bunyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu (1) fonetik dan (2) fonemik. Secara lebih rinci, kedua cabang kajian fonologi ini diuraikan pada bab-bab berikutnya.


B. Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoretis maupun terapan. Misalnya morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi, dialektologi, pengajaran bahasa, dan psikolinguistik. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisinya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serta diucapkan [pukulan] setelah mendapatkan proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks {–an}, praktis “minta bantuan” hasil studi fonologi. Begitu juga, mengapa morfem prefiks {məN-} ketika bergabung dengan morfem dasar {baca}, {daki}, {garap}, {jerit} menjadi [məmbaca], [məndaki], [məŋgarap’], dan [məñjərīť], dan ketika bergabung dengan morfem dasar {pacu}, {tari}, {kuras}, {sayat} menjadi [məmacu], [mənari], [məŋuras], [məñayať]? Jawabannya juga memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu di sini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan Kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ter-nyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [təras] akan bermakna lain, sedangkan kata duduk dan bidik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], dUdU?], [bidī?], [bīdī?] tidak membedakan makna? Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskripsikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermasud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa baik secara sosial maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajaran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the learner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gamblang lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian fonologi (khsususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar. Pada awal tahun 2000-an ini telah muncul buku yang berkaitan dengan klinis ini, misalnya Methods in Clinical Pohonetics, Phonetics for Speech Pathology, Instrumen Clinical Phonetics (ketiganya oleh Martin Ball dan Chris Code), Does Speech and Language Therapy Work? (oleh Pamela Enderby dan Joyce Emerson), Linguistics in Clinical Practice (oleh Kim Grundy), Assessment and Therapy for Young Dysfluent Children: Familiy Interaction (oleh Lena Rustin dan Elaine Kelman), Management of Stuttering in Adolescence: A Cpmmunication Skills Approach (oleh Lena Rustin, Robert Spence, dan France Cook), Developmental Speech Disorders (oleh Pamela Grunwell), dan masih banyak lagi lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain baik secara teoretis maupun praktis.


C. Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Ejaan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana me-lambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tatacara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagi contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang bertkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait dengan pemberlakukan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa. Mengapa demikian?
  • Kita tahu bahwa ejaan tumbuh beratus-ratus tahun – bahkan beribu-ribu tahun – setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa, bukan sebaliknya. Jadi, tidaklah ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis, pen).
  • Bahasa mana pun selalu berubah, termasuk bahasa Indonesia. Satu sistem ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuaikan terus-menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan bunyi pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.

Keterampilan Berbicara


KETERAMPILAN BERBICARA
RHETORIKA DAN BERBICARA EFEKTIF
Disusun oleh : Drs. Arman Agung

Dengan mulut kita dapat berbicara. Berbicara adalah merupakan suatu aktivitas kehidupan manusia normal yang sangat penting, karena dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat, menyampaikan maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala kondisi emosional dan lain sebagainya.
Kalau diamati dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang berbicara. Namun tidak semua orang didalam berbicara itu memiliki kemampuan yang baik didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat dimengerti sesuai dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang memiliki kemampuan yang baik didalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan detail yang tepat antara apa yang ada dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya sehingga orang lain yang mendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan si pembicara.
Untuk penyampaian hal-hal yang sederhana mungkin bukanlah suatu masalah, akan tetapi untuk menyampaikan suatu ide/gagasan, pendapat, penjelasan terhadap suatu permasalahan, atau menjabarkan suatu tema sentral, biasanya memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi bagi seorang pembicara yang belum terbiasa, bahkan tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik. Dibutuhkan suatu keterampilan atau kecakapan dengan proses latihan yang secukupnya untuk dapat tampil dengan baik menjadi seorang pembicara yang handal.
Keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang didalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah  maupun yang timbal balik ataupun keduanya. Seseorang yang memiliki ketermapilan berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan didalam pergaulan, baik di rumah, di kantor, maupun di tempat lain. Dengan keterampilannya segala pesan yang disampaikannya akan mudah dicerna, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar dengan siapa saja.
Disadari bahwa keterampilan berbicara seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penunjang utama yaitu internal dan eksternal. Faktor internal adalah segala sesuatu potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun non fisik (psykhis), faktor pisik adalah menyangkut dengan kesempurnaan organ-organ tubuh yang digunakan didalam berbicara  misalnya, pita suara, lidah, gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian (kharisma), karakter, temparamen, bakat (talenta), cara berfikir dan tingkat intelegensia. Sedangkan faktor eksternal misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan pergaulan. Namun demikian, kemampuan atau keterampilan berbicara tidaklah secara otomatis dapat diperoleh atau dimiliki oleh seseorang, walaupun ia sudah memiliki faktor penunjang utama baik internal maupun eksternal yang baik. Kemampuan atau keterampilan berbicara yang baik dapat dimiliki dengan jalan megasah dan mengolah serta melatih seluruh potensi yang ada.
Pada dasarnya seorang pembicara yang handal adalah seseorang yang ketika ia berbicara, baik dalam komuniasi formal (presentasi, ceramah, dll.) maupun informal (pergaulan) memiliki daya tarik yang rhetoris (mempesona) dengan isi pembicaraan yang efektif (sistematis, benar/tepat, singkat dan jelas dengan bahasa yang tepat) sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dengan jelas dan tergugah perasaannya.
Singkatnya, semua orang apapun profesinya, bila didalam kegiatannya menggunakan komunikasi (pembicaraan) sebagai sarananya, maka ia perlu memiliki keterampilan berbicara, terlebih lagi sebagai seorang tenaga pendidik, penyiar, atupun profesi lainnya.

RHETORIKA
Salah satu dari sekian banyak jenis keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh setiap orang adalah keterampilan berbicara atau seni berbicara. Hal ini menjadi penting bahkan sangat urgen, karena tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini sebagai manusia normal kita tidak mungkin lari dari kenyataan bahwa kita dalam berinteraksi dengan sesama manusia harus menggunakan suatu bentuk atau cara yang disebut komunikasi, khususnya bahasa verbal atau lisan.
Nuansa ini memberikan aksentuasi kepada kemampuan manusia di dalam menggunakan lambang-lambang kata, simbol-simbol maupun isyarat lainnya dalam proses komunikasinya sehingga tujuan komunikasi tercapai. Di dalam kenyataannya bahwa proses komunikasi yang dilakukan oleh manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok tidak jarang ditemukan adanya kegagalan di dalam mencapai tujuan komunikasi. Hal ini disebabakan oleh adanya kekurangmampuan komunikator dalam mengaplikasikan secara lebih baik lambang-lambang kata, simbol-simbol maupun isyarat lainnya dalam proses komunikasi, atau mungkin juga disebabkan oleh faktor lainnya yang tidak/kurang menguntungkan bagi kondisi di saat berlangsungnya proses komunikasi tersebut.
         Dari fenomena tersebut di atas maka seorang komunikator dalam profesi apapun yang menggunakan bahasa lisan sebagai media penyampaiannya, dipandang perlu membekali diri dengan suatu keterampilan atau seni di dalam berbicara atau dalam istilahnya “Rhetorika”.

a.    Pengertian/Defenisi Rhetorika
            Rhetorika dapat diartikan secara “etimologi” dan “terminologi”. Adapun hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.    Secara etimologi (berdasarkan asal kata), rhetorika berasal dari :
-          Bahasa Latin (Yunani kuno) “Rhetorica” yang artinya seni berbicara.
-          Bahasa Inggris “Rhetoric” yang berarti kepandaian berpidato atau berbicara.
2.    Secara terminologi (pengertian secara istilah) adalah :
      Didalam bahasa Inggris rhetorika dikenal dengan istilah “The art of  speaking” yang artinya seni di dalam berbicara atau bercakap. Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa rhetorika adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari atau mempersoalkan tentang bagaimana caranya berbicara yang mempunyai daya tarik yang mempesona, sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dan tergugah  perasaannya.
Sebagai bahan komparasi (pembanding) maka berikut ini ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar di bidang rhetorika yang diantaranya adalah :
1.    Richard E. Young cs, mengatakan bahwa rhetorika adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita menggarap masalah wicara-tutur kata secara heiristik, epistomologi untuk membina saling pengertiandan kerjasama.
2.    Socrates mengemukakan bahwa rhetorika mempersoalkan tentang bagaimana mencari kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya. Karena dengan dialog kebenaran dapat timbul dengan sendirinya.
3.    Plato mengungkapkan bawha rhetorika adalah kemampuan didalam mengaplikasikan bahasa lisan yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan sempurna.
4.    Drs. Ton Kertapati mengartikan rhetorika sebagai kemampuan seseorang untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa.
Dari beberapa defenisi tersebut di atas, apapun defenisi dan siapapun yang mengemukakannya semua mengacu dan memberi penekanan kepada kemampuan menggunakan bahasa lisan (berbicara) yang baik dengan memberikan sentuhan gaya (seni) didalam penyampaiannya dengan tujuan untuk memikat/menggugah hati pendengarnya dan mengerti dan memahami pesan yang disampaikannya.
Kemampuan untuk menjadi pembicara yang handal tidaklah diperoleh secara otomatis atau hanya mengandalkan bakat yang besar dan pembawaan (kharismatik) semata, tetapi juga dapat dipelajari dan atau melalui latihan yang banyak (Dr. Dale Carnigie).

b.    Latar Belakang Sejarah
Istilah rethorika muncul bermula di Yunani sekitar abad ke-5 sebelum masehi. Pada saat itu adalah merupakan masa kejayaan Yunani sebagai pusat kebudayaan barat dan para filsufnya saling berlomba untuk mencari apa yang mereka anggap sebagai kebenaran. Pengaruh kebudayaan Yunani ini menyebar sampai ke dunia timur seperti Mesir, India, Persia, bahkan Indonesia dan lain-lain.
Rhetorika mulai berkembang pada jaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya rhetorika kemudian berkembang menjadi suatu ilmu pengetahuan, dan yang dianggap sebagai guru pertama dalam ilmu rhetorika adalah Georgias (480 – 370 SM).

c.    Jenis-Jenis Rhetorika
Dari segi kepentingannya atau tujuan yang ingin dicapai, rhetorika dapat dibagi dalam dua bahagian, yaitu :
1.    Rhetorika Persuasif
Rhetorika persuasif adalah rhetorika yang bertujuan mempengaruhi orang dengan tidak begitu memperhatikan/mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dan moralitas. Rhetorika yang seperti ini dapat kita jumpai dimana-mana, contohnya adalah rhetorika yang digunakan oleh sebagian besar penjual obat kaki lima dalam menawarkan dagangannya, dll.
2.    Rhetorika Dialektika
Rhetorika dialektika yang sering juga disebut dengan rhetorika psikologi, adalah rhetorika yang muncul sebagai kebalikan dari rhetorika persuasif, dimana rhetorika ini sangat memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, moralitas dan sifatnya dapat menenangkan jiwa manusia. Tujuan utama rhetorika ini mengarah kepada pembinaan spiritual. Rhetorika yang seperti ini umumnya digunakan didalam ceramah-ceramah agama.

d.    Tujuan Rhetorika
Tujuan rhetorika adalah berusaha untuk membentuk opini publik atau menggiring pendapat umum ke arah pendapat pembicara, atau minimal pendengar (audience) tidak membantah terhadap apa yang dikemukakan oleh si pembicara (komunikator).

e.    Langgam-Langgam Dalam Rhetorika
Dalam rhetorika langgam diartikan sebagai cara, ragam, atau gaya suatu bahasa (pembicaraan). Langgam-langgam rhetorika dapat dibagi atas :
1.    Langgam Agitasi
Langgam agitasi adalah langgam yang kebanyakan dipakai dalam rhetorika persuasif. Langgam ini biasanya digunakan untuk membakar semangat, misalnya oleh demonstran.
2.    Langgam Teater
Langgam teater adalah langgam yang digunakan oleh para pemain teater dalam berdialog.
3.    Langgam Agama
Langgam agama adalah langam yang biasa digunakan oleh para muballigh atau para pendeta dalam penyampaian ceramahnya.

f.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Rhetorika
Keberhasilan suatu rhetorika didalam berbicara sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.    Situasi
Situasi yang dimaksudkan adalah hal-hal yang menyangkut keadaan atau kondisi saat pembicaraan/ceramah sedang berlangsung. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
a.    Tingkat pengetahuan pendengar. Yaitu menyangkut latar belakang level pengetahuan dari pendengar (audience).
b.    Formal atau informal. Hal ini menyangkut apakah kita berbicara dalam suatu situasi yang formal (forum resmi) atau dalam situasi biasa atau kekeluargaan (informal)
c.    Sedih atau gembira. Berbicara di depan orang yang berada dalam situasi sedih tentunya sangat berbeda dibandingkan dengan ketika kita tampil berbicara di depan orang yang sedang dalam keadaan gembira. Untuk itu seorang pembicara harus mengetahui betul situasi dan kondisi pendengarnya.
2.    Ruang
Hal ini adalah tentang tempat dimana kita sedang berbicara, misalnya di dalam ruangan gedung ataukah di lapangan.
3.    Waktu
Yang dimaksudkan dengan waktu disini adalah, disamping waktu yang sebenarnya yaitu apakah pagi, siang, sore atau malam, juga tentang isi materi yang akan dibicarakan, apakah hal tersebut masih aktual ataukah sudah usang atau basi.
4.    Tema
Sebuah tema sangat penting artinya dalam suatu pembicaraan, sehingga didalam pembicaraan seorang pembicara ia dapat fokus atau terarah. Sangat disarankan seorang pembicara hanya menggunakan satu tema pembicaraan sehing didalam pembicaraannya ia tidak ngawur atau mengambang yang dapat mengakibatkan isi pembicaraan susah dipahami oleh pendengar. Namun jika terpaksa harus lebih dari satu, maka selesaikanlah satu tema pembicaraan kemudian pindah ke tema yang lainnya.
5.    Isi atau Materi
Isi pembicaraan hendaknya sesuai dengan tema yang telah dipersiapkan dengan mantap sebelumnya dan menarik minat pendengar. Daya tarik suatu materi juga akan sangat menentukan keberhasilan suatu pembicaraan. Adapun yang dapat menjadi pemicu rasa ketertarikan pendengar diantaranya adalah :
Ø  Up to date, masalah yang dibicarakan adalah masalah yang sedang hangat-hangatnya di dalam masyarakat.
Ø  Merupakan suatu yang menyangkut kepentingan pendengar.
Ø  Masalah yang mengandung pertentangan publik, benar-salah, baik-buruk.
Ø  Sesuai dengan kemampuan logika pendengar, dll.
6.    Teknik Penyajian
Teknik yang dimaksudkan disini adalah cara-cara yang digunakan didalam berbicara, meliputi :
a.    Kemampuan menggunakan bahasa lisan dengan baik. Dalam hal ini seorang pembicara hendaknya memiliki kemampuan tata bahasa yang baik, artikulasi yang jelas dan tidak cadel, intonasi yang menarik (tidak monoton), aksen yang tepat, dan tidak terlalu banyak menggunakan istilah yang tidak perlu.
b.    Ekspresi (air muka) yang menarik, misalnya: tidak cemberut, tidak pucat, tidak merah, dan sebagainya. Ekspresi dalam berbicara sangat penting untuk memikat minat dengar atau rasa ingin tahu dari pendengar.
c.    Stressing (redance), yaitu kemampuan seorang pembicara untuk memberikan penekanan pada masalah-masalah inti atau penting didalam pembicaraannya, misalnya dengan pengulangan-pengulangan yang seperlunya, atau dengan penekanan-penekanan tertentu dalam nada pembicaraan.
d.    Kemampuan memberikan refreshing (penyegaran) dengan menyelipkan intermezzo, yaitu dengan menyelingi pembicaraan dengan hal-hal lain yang berhubungan yang mengandung kelucuan, baik itu pengalaman sendiri atau sebuah anekdot, dengan tidak mengurangi nilai pembicaraan. Hal ini dimaksudkan agar pendengar tidak terlalu stress yang bisa menimbulkan kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti pembicaraan kita.
e.    Kepribadian atau personality. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah disamping daya pesona atau kharismatik seseorang, juga meliputi nilai-nilai pribadi seorang pembicara, diantaranya: jujur, cerdik, berani, bijaksana, berpandangan baik, percaya diri, tegas, tahu diri, tenang dan tenggang rasa.

BERBICARA EFEKTIF
         Tampil berbicara dengan hanya mengandalkan teknik rhetorika, nampaknya tidaklah cukup untuk menjadi seorang pembicara yang handal. Karena bagimanapun hebatnya daya pesona yang ditimbulkan oleh seorang pembicara dalam penampilannya tanpa didukung oleh efektifitas pembicaraan yang dibawakannya, maka apa yang disampaikannya itu akan berlalu begitu saja tanpa menimbulkan kesan yang mendalam, atau dengan kata lain efek pesan yang disampaikannya itu hanya bertahan sampai selesainya pembicaraan, begitu pembahasan selesai maka selesai pulalah segalanya.
         Untuk itulah maka disamping seorang pembicara perlu memiliki rhetorika yang baik, ia juga perlu menguasai apa yang disebut berbicara yang efektif. Berbicara efektif merupakan sarana penyampaian ide kepada orang atau khalayak secara lisan dengan cara yang mudah dicerna dan dimengerti oleh pendengarnya. Hal itu dapat terjadi jika pembicaraannya sistematis, benar, tepat dan tidak berbelit-belit dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar.

1.    Dasar-Dasar Berbicara Efektif
         Pada dasarnya berbicara efektif pada kesempatan apapun terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu pembukaan, isi atau inti permasalahan, dan penutup.
a.    Pembukaan
Pembukaan adalah bagian awal dari setiap pembicaraan. Pembukaan termasuk bagian penting karena turut menentukan sukses tidaknya suatu pembicaraan. Bila pembukaan sudah berhasil menggugah minat dengar orang, maka kesuksesan pembicaraan sudah 50 % ada ditangan si pembicara. Sebaliknya, bila pembukaannya saja sudah membosankan, maka kegagalan penyampaian pesan dapat dikatakan sudah 90%, karena yakinlah bahwa pembicara akan diabaikan atau tidak akan diperhatikan oleh  pendengar.
Pembukaan seyogyanya dilakukan paling lama lima menit. Dan diharapkan waktu lima menit tersebut dapat memberikan kesan yang menyenangkan dan menarik minat bagi para pendengar sehinga para pendengar bersedia menyimak pembicaraan selanjutnya dengan seksama.
Pada acara formal, misalnya pidato, isi “Pembukaan” biasanya terdiri dari salam kepada orang/pejabat atau tokoh setempat yang hadir, ucapan terima kasih atas kesempatan yang diberikan, dan ulasan sekilas tentang masalah yang akan dibicarakan.
Pembukaan sebaiknya memuat common interest dari pendengar. Misalnya berbicara tentang hal-hal aktual yang sedang terjadi yang menjadi bahan pembicaraan yang hangat di masyarakat, walaupun mungkin tidak ada kaitannya dengan yang akan dibicarakan. Bisa juga disisipkan beberapa lelucon/anekdot segar yang dapat menggugah perhatian dan simpati orang. Alangkah baiknya apabila lelucon atau “penyegar” tersebut secara tidak langsung dapat disambungkan dengan inti masalah.
Bila kata pembukaan berhasil, perhatian pendengar secara halus dapat ditarik ke inti permasalahan. Pembukaan  pada setiap kesempatan pembicaraan sangat berbeda, tergantung pada misi, sifat, lawan bicara, dan suasana pembicaraan.
1)    Misi Pembicaraan
Pembukaan dipengaruhi oleh misi pembicaraan. Yang dimaksudkan dengan misi pembicaraan di sini adalah tujuan pertemuan atau pembicaraan dan tugas yang dibebankan kepada si pembicara untuk disampaikan kepada hadirin
2)    Sifat Pembicaraan
Pembukaan dipengaruhi oleh sifat pembicaraan, apakah serius, resmi, atau tidak sama sekali. Pembukaan di depan forum resmi, misalnya pertemuan atau rapat dinas yang dihadiri oleh pejabat kantor bersangkutan dan para pejabat pemerintah, sifatnya sangat formal yang biasanya akan mengikuti tatanan yang sudah baku dalam acara resmi. Dalam hal ini, pembukaan harus benar-benar mencerminkan keseriusan dari acaranya. “Pembukaan” pembicaraan atau pidato dapat disisipi “penyegaran” dengan sedikit humor, dan bisa dilakukan dengan santai tapi dengan tidak menghilangkan keseriusan acara.
3)    Lawan Bicara
Lawan bicara turut menentukan “pembukaan” pembicaraan. Lawan bicara atau pendengar bisa dikategorikan dalam dua bahagian, yaitu kelompok atau perseorangan. Pembicaraan dengan perseorangan (seseorang), pembukaannya  biasanya lebih diwarnai dengan gaya yang sifatnya kekeluargaan, apalagi kalau keduanya sudah akrab. Namun apabila pembicara dengan lawan bicara belum akrab benar maka pembukaan disampaikan seperlunya hingga dirasa suasana sudah “hangat”, kemudian kita dapat masuk ke masalah inti yang akan disampaikan.
Berbeda jika pembicaraan dilakukan dihadapan banyak orang maka harus diperhatikan siapa siapa yang menjadi lawan bicara, pembukaannya harus ditujukan kepada semua hadirin.
Disamping itu, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: usia, status sosial, bahasa dari lawan bicara, karena ini berkaitan dengan adat kesopanan yang juga akan sangat menentukan minat dengar dari lawan bicara.
4)    Suasana
Suasana juga ikut menentukan bagaimana pembukaan suatu pembicaraan. Baik isi maupun pola tutur bahasa bahkan nada bicara yang digunakan adalah sangat erat hubungannya dengan suasana yang berlangsung atau yang dihadapi oleh pembicara. Karenanya pembicara harus memahami betul suasana yang dihadapinya untuk memulai atau membuka suatu pembicaraan, apakah gembira, sedih, santai atau suasana yang lainnya. Pembukaan pembicaraan atau sambutan dan sejenisnya, pada suatu acara pemakaman jangan sampai disamakan seperti pada pembukaan acara ulang tahun, atau sebaliknya.

b.    Isi/Inti Pembicaraan
Inti pembicaraan merupakan bagian paling pokok dalam pembicaraan. Bagian ini merupakan tujuan dari pembicaraan. Dalam bagian inilah rincian permasalahan akan dibahas.
Dalam acara-acara tertentu, misalnya diskusi, seminar, sarasehan, biasanya penyampaian inti permasalahan tidaklah perlu terlalu mendetail, melainkan hanya pada butir-butir pokoknya sajalah yang disampaikan. Penyampaian yang mendetail biasanya disampaikan dalam forum tanya jawab.
Isi pembicaraan harus dapat disampaikan secara lengkap dengan sistematis dan tidak berkepanjangan atau bertele-tele. Pembicara harus konsisten dengan inti permasalahan. Pembicaraan tidak boleh merambat ke hal-hal di luar permasalahan yang dibicarakan, terkecuali jika hal itu diambil sekedar sebagai referensi atau sebagai loncatan berfikir (itupun harus dibatasi dan dijaga jangan sampai berkembang lebih jauh). Untuk lebih memfokuskan perhatian pendengar dapat dibantu dengan presentasi yang menggunakan alat audio, visual atau audio visual.
Sesekali sisipkan anekdot atau guyonan penyegar suasana. Dan selanjutnya libatkan hadirin dalam permasalahan yang disampaikan, misalnya dengan melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan inti permasalahan. Cara seperti ini hampir selalu dapat mengikat perhatian pendengar sepanjang pembicaraan.
Perlu diperhatikan bahwa, sebaiknya lama pembicaraan tidak lebih dari satu jam per sesi. Pembahasan inti permasalahan dapat dilanjutkan lagi dalam forum tanya jawab. Setelah semua inti materi disampaikan, tiba saatnya untuk menutup pembicaraan.

c.    Penutup
Pada akhir pembicaraan hendaknya diusahakan adanya kata-kata penutup yang dibuat sesingkat mungkin, paling lama tiga sampai lima menit. Dalam penutup dapat disampaikan kesimpulan atau rangkuman penting sebagai hasil pembicaraan itu.
Penutup biasanya diakhiri dengan ucapan terima kasih kepada hadirin atas perhatian yang diberikan dan kepada penyelenggara apabila berbicara  pada suatu acara resmi. Dan terakhir sekali adalah ucapkan salam sebagai penutup pembicaraan.



DAFTAR PUSTAKA


1.                    HUDORO SUMETO : Cara Berbicara dan Presentasi dengan Audio Visual, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004.

2.                    ARMAN AGUNG : Laporan Program Pembelajaran Pendidikan Kader (Materi Rethorika) di Kampus IKIP Gunungsari Baru Ujung Pandang, Ujung Pandang1989.