Jumat, 02 September 2011

Definisi dan pengertian Al-Qur'an


Ta’riful Qur’an
Menurut bahasa, “Qur’an” berarti “bacaan”, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur’an sendiri yakni dalam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya”.
Adapun menurut istilah Al-Qur’an berarti: “Kalam Allah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang disampaikan secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah”.
Kalamullah
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid[1] seorang jawara sastra pada masa Nabi saw: “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.
Mu’jizat
Mu’jizat artinya suatu perkara yang luar biasa, yang tidak akan mampu manusia membuatnya karena hal itu di luar kesanggupannya. Mu’jizat itu dianugerahkan kepada para nabi dan rasul dengan maksud menguatkan kenabian dan kerasulannya, serta menjadi bukti bahwa agama yang dibawa oleh mereka benar-benar dari Allah ta’ala.
Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad saw. Kemu’jizatannya itu diantaranya terletak pada fashahah dan balaghah-nya, keindahan susunan dan gaya bahasanya yang tidak ada tandingannya. Karena gaya bahasa yang demikian itulah Umar bin Khatthab masuk Islam setelah mendengar Al-Qur’an awal surat Thaha yang dibaca oleh adiknya Fathimah. Abul Walid, terpaksa cepat-cepat pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat.[2]
Karena demikian tingginya bahasa Al-Qur’an, mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengannya, apalagi menandinginya. Orang yang ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah ditantang oleh Allah ta’ala:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad) buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang memang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Allah sendiri kemudian menegaskan bahwa tidak akan pernah ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan ini (QS. 2: 24). Bahkan seandainya bekerjasama jin dan manusia untuk membuatnya, tetap tidak akan sanggup (QS. 17: 88).
Selain itu, kemukjizatan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Perhatikanlah, sampai saat ini Al-Qur’an masih menjadi sumber rujukan utama bagi para pengkaji ilmu sosial, sains, bahasa, atau ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Miftah Faridl, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dapat meyakinkan kita bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, tidak mungkin ciptaan manusia, apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw yang ummi (7: 158) yang hidup pada awal abad ke enam Masehi (571-632 M)[3]
Berbagai kabar ghaib tentang masa lampau (tentang kekuasaan di Mesir, Negeri Saba’, Tsamud, ‘Ad, Yusuf, Sulaiman, Dawud, Adam, Musa, dll) dan masa depan pun menjadi bukti lain kemu’jizatan Al-Qur’an. Sementara itu jika kita perhatikan cakupan materinya, nampaklah bahwa Al-Qur’an itu mencakup seluruh aspek kehidupan: masalah aqidah, ibadah, hukum kemasyarakatan, etika, moral dan politik, terdapat di dalamnya.
Al-Munazzalu ‘ala qalbi Muhammad saw
Al-Qur’an itu diturunkan khusus kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad saw—seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa—tidak bisa dinamakan dan disebut sebagai Al-Qur’an. Demikian pula hadits qudsi[4] tidak bisa disamakan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan Allah ta’ala kepada Nabi Muhammad saw dengan berbagai cara[5]:
  1. Berupa impian yang baik waktu beliau tidur.Kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril dengan menyerupai bentuk manusia laki-laki, lalu menyampaikan perkataan (firman Allah) kepada beliau.
  2. Kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu menampakkan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu mewahyukan firman Allah kepada beliau.
  3. Kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Inilah cara yang paling berat dirasakan beliau.
  4. Kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan diterima langsung dari Hadirat Allah sendiri.
  5. Sekali wahyu itu beliau terima di atas langit yang ketujuh langsung dari Hadirat Allah sendiri.
Al-Manquulu bi-ttawaatir
Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang), sehingga terpelihara keasliannya. Berikut sekilas sejarah pemeliharaan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga pembukuannya seperti sekarang:
Pada masa Nabi Al-Qur’an dihafal dan ditulis di atas batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Kemudian setahun sekali Jibril melakukan repetisi (ulangan), yakni dengan menyuruh Nabi memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diterimanya. Menurut riwayat, di tahun beliau wafat, ulangan diadakan oleh Jibril dua kali.
Ketika Nabi wafat, Al-Qur’an telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis semua ayat-ayatnya dengan susunan menurut tertib urut yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri.
Berdasarkan usulan Umar bin Khattab, pada masa pemerintahan Abu Bakar diadakan proyek pengumpulan Al-Qur’an. Hal ini dilatar belakangi oleh peristiwa gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an dalam perang Yamamah. Maka ditugaskanlah Zaid bin Tsabit untuk melakukan pekerjaan tersebut. Ia kemudian mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.
Dalam upaya pengumpulan Al-Qur’an ini, Zaid bin Tsabit bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi masih memandang perlu mencocokkan hafalannya dengan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan dua orang saksi. Selanjutnya, Al-Qur’an ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan Rasulullah saw.
Pada masa Utsman terjadi ikhtilaf tentang mushaf Al-Qur’an, yakni berkaitan dengan ejaan, qiraat dan tertib susunan surat-surat. Oleh karena itu atas usulan Huzaifah bin Yaman, Utsman segera membentuk panitia khusus yang dipimpin Zaid bin Tsabit beranggotakan Abdullah bin Zubair, Saad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk melakukan penyeragaman dengan merujuk kepada lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah, isteri Nabi saw.
Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia ini kemudian dinamai “Al-Mushaf” dan dibuat lima rangkap. Satu buah disimpan di Madinah—dinamai “Mushaf Al-Imam”—dan sisanya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah. Sementara itu lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum proyek ini segera dimusnahkan guna menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, satu bacaan[6], dan satu tertib susunan surat-surat.
Al-Muta’abbadu bitilawatih
Membaca Al-Qur’an itu bernilai ibadah. Banyak sekali hadits yang mengungkapkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah merupakan bentuk ibadah kepada Allah yang memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah:
Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Allah akan memberi pahala kepadamu karena bacaan itu untuk setiap hurufnya 10 kebajikan. Saya tidak mengatakan kepada kalian bahwa ‘Alif-Laam-Mim’ itu satu huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘Laam’ satu huruf dan ‘Miim’ satu huruf” (HR. Hakim).
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi cahaya bagimu di bumi dan menjadi simpanan (deposito amal) di langit.” (HR. Ibnu Hibban).
“Orang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi taat. Dan barangsiapa membaca Al-Qur’an, sementara ada kesulitan (dalam membacanya), maka baginya dua pahala. “ (HR. Bukhari & Muslim)
***

[1] Abul Walid adalah seorang sastrawan Arab yang jarang bandingannya. Suatu saat ia diperintahkan para pemimpin Quraisy untuk menghadap Nabi Muhammad saw dengan maksud membujuk beliau supaya meninggalkan dakwah Islam dengan janji bahwa beliau akan diberi pangkat, harta dan sebagainya. Abul Walid menyampaikan bujukannya ini dan membacakan syair-syair. Tapi kemudian Nabi Muhammad saw membacakan surat Fushilat dari awal sampai akhir. Abul Walid pun tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Ia kemudian datang kepada para pemimpin Quraisy dan mengatakan kata-kata di atas.
[2] Pokok-pokok Ajaran Islam, DR. Miftah Faridl, Pustaka Bandung hal. 9.
[3] Di antara ayat-ayat tersebut umpamanya QS. 39: 6, 6: 125, 23: 12-14, 51: 49, 41: 11: 41, 21: 30-33, 51:7, 49 dan lain-lain
[4] Menurut para ulama hadits qudsi ialah: “Sesuatu yang diberitakan Allah kepada Nabi saw dengan perantaraan Jibril, atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu tidur, lalu oleh beliau disampaikan kepada ummat dengan lafadz dan ucapan beliau sendiri, berdasarkan taufiq dari Allah ta’ala. Apabila Rasulullah saw meriwayatkan hadits qudsi, biasanya mengucapkan “Qaala-Llahu ta’aala” (Allah berfirman…), tapi firman itu tidak dimasukkan dalam Al-Qur’an. Begitu juga uslub-nya (susunan kata) tidak sama dengan uslub ayat-ayat Al-Qur’an.
[5] Lihat Kelengkapan Tarikh Muhammad (Gema Insani Press) hal. 142-143.
[6] Bacaan (qiraat) yang dikenal oleh masyarakat muslim saat ini bermacam-macam, tetapi bacaan yang berbeda-beda itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf Utsman.



Pengertian al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلا
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)
Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya.
Allah ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya.
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
Allah ta’ala berfirman, “Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)
ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ
Dan firman-Nya, “Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
Dan firman-Nya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad:29)
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.” (al-Waqi’ah:77)
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.” (al-Isra’:9)
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan firman-Nya, Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ -وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
Dan firman-Nya, “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.‘ Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ
Dan firman-Nya, “Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Dan firman-Nya, “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Dan firman-Nya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)
Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus kepada seluruh umat manusia. Allah ta’ala berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Dan firman-Nya, “Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)
Sedangkan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan firman-Nya, “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Dan firman-Nya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)
———————
CATATAN KAKI:
* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)
(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11)



Makna Al-Qur'an

Apa arti kalimat Al-Qur'an? Apa asal katanya ? Adakah Al Qur'an sendiri telah menyebutkan dirinya dengan nama Al Qur'an ? Di dalam Al Qur'an pernyataan nama ini, bisa ditemukan di banyak tempat. Tapi bukan maksudnya di sini untuk mengkalkulasi semua ayat yang terdapat didalamnya kalimat Al-Qur'an. Cukuplah dengan menyebutkan beberapa contoh, sebagai bukti : Dalam (QS:7:204) : " Dan apabila dibacakan Al Qur'an maka dengarlah dan perhatikalah ". Dalam (QS:15:87) : " Dan sesungguhnya Kami telah berikan kapadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, dan Al-Qur'an yang agung ". Dalam (QS:56:77) : " Sesungguhnya Al-Qur'an ini bacaan yang sangat mulya ". Dalam (QS:85:21) : "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur'an yag mulya".
Bila kata Al Qur'an, merupakan masdar (infinitif) dari kata " qara'a " yang berarti membaca, maka artinya " bacaan ". Allah berfirman : (innaa 'alainaa jam'ahu waqur'anah), Qur'anah di sini berarti qira'atuhu yakni mebacanya. Dalam konteks ini, membaca bisa dimaksudkan untuk diri sendiri. Seperti yang terdapat dalam (QS:16:98) : " Maka apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaknya kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk ". Atau membaca untuk orang lain, seperti yang terdapat dalam (QS:17:106) : " Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu mebacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian ".
Dr. Shalah Al Khalidi, seorang ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an kontemporer, menyebutkan bahwa Al-Qur'an dengan makna bacaan, itu lebih kuat, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas. (lihat Hadzal Qur'an, oleh Dr Shalah Al-Khalidi, Darul Manar, Oman, 1993, hal:19). Rahasia penamaan Al-Qur'an dengan arti bacaan, adalah karena membaca Al-Qur'an merupakan ibadah. Dari An Nu'man bin Basyir ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Yang paling utama dari ibadah umatku adalah membaca Al-Qur'an ". (HR:Albaihaqi dalam kitab Syu'abul Iman). Hadits ini sekalipun dha'if, tapi dikuatkan oleh hadits sahih diriwayatkan Imam Muslim, dari Abu Umamah Al Bahili ra. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : bacalah Al-Qur'an, karena ia pada hari kiamat nanti akan datang untuk memberikan syafaat kepada para pembacanya ". (Sahih Muslim, Daru Ihya'u trutats Al Arabi, Bairut, Jilid:I, hl:553, Hadits:804).
Bila kata Al-Qur'an berasal dari kata " qara'a " denga makna menghimpun atau mengumpulkan, ini juga terdapat dalam (QS:2:228) dengan kata " quru' ". Allah berfirman : " Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' ". Sekalipun para ulama fikih berbeda pendapat dalam maksud " quru " di sini, apakah, maksudnya " tiga kali haid " atau " tiga kali suci ", tapi mereka bersepakat bahwa menyebut kondisi haid atau kondisi suci dengan istilah quru', dimaksudkan agar wanita menyelesaikan iddahnya dengan mengumpulkan semua kondisi itu sampai selesai.
Dengan menggabungkan antara arti bacaan dan himpunan atau kumpulan, dalam menelusuri makna kalimat Al-Qur'an, bisa dapatakan titik temu, bahwa ketika seorang membaca Al-Qur'an, ia telah mengumpulkan huruf-huruf kalimat dalam suatu rangkaian yang utuh, lalu melafalkannya dengan lisanya, dalam bentuk kalimat atau kata yang sempurna, sehingga enak didengarnya, nampak menjadi sebuah bangunan yang kuat saling mendukung, tak tergoyahkan. Dari membaca akan lahir pemahaman. Dari pemahaman yang didukung amal akan lahir sebuah peradaban besar. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa membaca merupakan urutan pertama dalam membangun ilmu pengetahuan, dan selanjutnya untuk membangun sebuah peradaban diperlukan amal nyata sebagai realisasi pemahaman akan bacaan.. Allah SWT, Maha tahu akan hakikat ini. Karenanya yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq, yang dimulai dengan kata " iqra' ", perintah untuk membaca. Rasulullah SAW, pada waktu itu memang tidak bisa mebaca dan menulis. Karenanya disebut Ummi.

Lalu kalau direnungkan secara mendalam ayat-ayat yang pertama kali diturunkan itu, akan ditemukan bahwa ada dua perintah iqra' : Pertama, " iqra' bismirabbikalladzi khalaq " bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan ). Kedua, iqra' warabbukal akram ( bacalah dan tuhanmulah yang paling Pemurah ). Maksudnya bahwa kegiatan membaca harus tegak di atas keikhlasan kepada Allah semata, kejujuran untuk membesarkanNya, menyebarkan ajaranNya, dan memberikan pemahaman yang benar terhadap manusia, sehingga dengannya manusia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.

Sumber :
Dr. Amir Faishol Fath



Adab Tilawah (Membaca) Al-Quran

"Barangsiapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka baginya sepuluh kebaikan. Sedangkan satu kebaikan itu dilipat gandakan hingga sepuluh kali. saya tidak mengatakan alif laam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam itu satu huruf dan mim juga satu huruf," (HR. Tirmidzi). Itu baru satu kata, lalu bagaimana kalau kita membaca satu juz atau lebih setiap malamnya?

Tentu sudah tak terhitung berapa banyak pahala yang mengalir ke catatan amal kita tanpa kita sadari. Belum lagi kalau saat itu bertepatan dengan malam lailatul qadar. Berarti apa yang kita lakukan pada saat itu sama dengan pahala yang kita peroleh ketika membaca Al-Qur'an selama 83 tahun lebih tanpa henti. Subhanallah. Dan, untuk menyambut datangnya bulan ini, seyogyanya kita memahami adab tilawah, adab membaca Al-Qur'an. Sehingga apa yang kita rencanakan sejak jauh-jauh hari itu bisa tercapai dengan baik.

1 . Membaca dalam keadaan suci dari hadats, menghadap qiblat dan duduk dengan baik

Al-Qur'an bukanlah seperti buku biasa, atau seperti surat kabar harian yang boleh dibaca di mana saja serta dalam keadaan apa pun. Tidak. Al-Qur'an jelas sangat berbeda dengan semua itu. Al-Qur'an merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala sumber hukum. Kitab suci yang terbebas dari perubahan hingga akhir zaman. Sehingga sudah sangat wajar bila kita harus memperlakukannya dengan khusus pula. Didahului dengan berwudlu, sebagai wujud pensucian diri. Lalu dilanjutkan dengan mengambil dan membawanya dengan tangan kanan, sebagai lam bang kebaikan, selanjutnya duduk dengan tenang dan siap untuk membacanya. Demikianlah yang harus dilakukan sebelum membacanya, sehingga Allah berfirman: "Tidak' menyentuhnya kecuali hambahamba yang disucikan". (Al-Waqiah: 79).

2. Membaca dengan tartil (perlahan-lahan)

Seringkali kita mendengar seseorang membaca Al-Qur'an dengan sangat cepat dan terburu-buru. Ia seperti orang yang sedang dikejar hantu. Atau bisa jadi kita juga terpancing untuk membacanya dengan cepat, agar lebih cepat selesai. Padahal membaca dengan cara seperti ini tentu sangat sulit menempatkan huruf pada makhraj yang benar. Terlebih lagi, pandangan mata kita kurang bisa terfokus dengan baik. Akibatnya, kesalahan demi kesalahan akan terus terulang tanpa kita sadari. Kata "Rahiim" yang berarti "Maha Penyayang" misalnya.

Bila mata kita melihat dengan cepat, bisa jadi lidah kita akan keseleo dan akhirnya membaca "Rajiim" yang bermakna "Yang dimurkai", ini kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya suatu kesalahan yang sangat fatal karena arti kedua kalimat itu sangat bertolak belakang. Bayangkan, bila kesalahan itu terjadi pada lafadz basmalah, tentu hal ini sangat fatal. Karena itu, Allah berfirman: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (QS. Al-Muzammil: 4).

3. Membacanya dengan khusyu.

Tampakkan kesedihan bila membaca ayat yang menunjukkan ancaman dan siksa. Dan, berseriserilah bila mendengar berita gembira. Itulah nasehat Rasulullah kepada sahabat dan seluruh umat Islam. Sehingga tidak jarang kita menemukan ulama yang menangis tersedu-sedu. "Bacalah AIQur'an dan menangislah karenanya. Bila kalian tidak bisa menangis maka berpura-puralah untuk menangis." (HR. Bukhari dan Muslim). Berpura-pura menangis ini dilakukan ketika membaca Al-Quran send irian. Sedang tidak bersama orang lain. Agar keikhlasan tetap terjaga. Lihatlah! betapa tubuh seorang sahabat yang bernama Uwais al-Qarni menggigil hebat, lalu terjatuh dan pingsan cukup lama setelah membaca membaca firman Allah: "Ha mim. Oemi kitab yang menjelaskan, sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu motam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." Dia membacanya hingga "Kecuali orang-orang yang diberi rahmat Allah. Sesungguhnya Oialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. " (QS. Ad-Dukhan: 1-100).

4. Membacanya dengan suara yang enak didengar.

Bersyukur kepada Allah, bila dikaruniai suara yang merdu dan enak didengar adalah suatu keharusan. Caranya, dengan memanfaatkan kemerduan suara itu untuk membaca Al-Qur'an. Sehingga orang yang mendengar keindahan suara kita semakin tertarik dan ingin belajar membaca Al-Qur'an. Rasulullah SAW bersabda, "Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian." (HR. Bukhari). Tapi bila merasa khawatir akan ria atau sumah, maka bacalah Al-Qur'an dengan suara yang cukup didengar sendiri. "Orang yang membaca Al-Qur 'an dengan keras bagaikan orang yang bershadaqah dengan terang-terangan." (HR. Turmudzi).

5. Membaca dengan tadabur disertai dengan kehadiran hati untuk memahami arti dan rahasianya.

Hal ini sudah sangat jelas dan tidak perlu dibahas lebih jauh bahwaAl-Qur'an bukanlah kitab biasa yang hanya dibaca sambil lalu, tapi ia adalah pedoman hidup yang harus dihayati, bukan sekadar dibaca tanpa tahu makna dan maksudnya. Allah berfirman: 'Apakah mereka tidak merenungkan AI Qur'an." (QS. An-Nisa: 82) Sangat banyak yang bisa direnungkan. Bahkan diri kita juga menjadi obyek perenungan. Misalnya, bersyukurlah karena hidung kita tidak menghadap ke atas, karena kalau itu yang terjadi tentu air akan akan masuk ke dalam hidung setiap kali kita kehujanan atau mandi. Ini adalah contoh yang simpel dari sekian banyak obyek perenungan lainnya "Don (juga) pada dirimu sendiri Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Adz-Dzariyat: 21)

6. Bukan menjadi orang yang tidak menghiraukan apa yang dibaca.

Bersikap apatis dan acuh terhadap apa yang dibaca, tentu bukan sikap yang terpuji. Karena bisa jadi, saat itu kita melaknat diri sendiri. Memang, demikianlah akibatnya bila tingkah laku kita bertentangan dengan apa yang dibaca. "lngatlah! Kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dzalim." (QS. Huud: 18) Dengan demikian tidak ada pilihan lain, belajar bahasa arab merupakan solusi terbaik sehingga kita bisa memahami arti sekaligus penafsiran ulama. Atau setidak-tidaknya merujuk kembali kepada tejemah Al-Qur'an. Di dalam Taurat disebutkan, "Mengapa kamu tidak malu kepada-Ku? Ketika kamu mendapat kiriman surat dari seorang teman, kamu berhenti sejenak dan menyempatkan diri membacanya, huruf demi huruf. Agar kamu bisa memahaminya dengan baik dan tidak ada yang terlewatkan. Dan, inilah kitab yang Aku turunkan kepadamu. Perhatikan! Bagaimana Aku menjelaskan setiap permasalahan dengan terperinci. Dan perhatikan! betapa sering Aku mengulanginya sehingga kamu bisa merenungkannya. Tapi lihatlah! Apa yang kamu lakukan, kamu pun berpaling darinya. Sehingga Aku menjadi kurang bermakna bagimu dibandingkan dengan temanmu.

Wahai hamba-Ku! Bila datang seorang teman mengunjungimu, kamu pun menyambutnya dengan hangat. Kamu memperhatikan dan mendengarkannya dengan seksama. Bila ada orang yang mengganggu pembicaraanmu, kamu pun segera menyuruhnya untuk diam. Dan, inilah sekarangAku datang kepadamu, ingin berbicara denganmu. Tapi apa yang terjadi? Kamu pun berpaling dariku. Mengapa kamu menjadikan Aku lebih tidak bermakna dari seorang temanmu?" Demikianlah beberapa hal yang harus diperhatikan ketika membaca Al-Qur'an, sehingga kita "" tidak membacanya semau kita tanpa memperhatikan situasi dan kondisi. Ini semua agar tilawah kita lebih bermakna dan benar benar beda.****



Arti dan Makna Al-Qur'an
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
Terminologi
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan Bukti-Buktinya
Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri dan pada kenyataannya kita bisa melihat bahwa satu-satunya kitab suci yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
Nama-nama lain Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau’idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa’ (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha’ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
Struktur dan pembagian Al-Qur’an
Surat, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku’ yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Surat yang turun di Makkah pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah pada umumnya suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari’ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[rujukan?]
Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur’an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur’an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
Sejarah Al-Qur’an hingga berbentuk mushaf
Al-Qur’an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur’an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur’an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur’an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur’an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.
Pengumpulan Al-Qur’an di masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur’an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur’an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
“ Suwaid bin Ghaflah berkata, “Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur’an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang isu qira’at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira’atnya lebih baik dari qira’at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran’. Kami berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.’ Kami berkata, ‘Pendapatmu sangat baik’.” ”
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mahabits fi ‘Ulum Al Qur’an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur’an
Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur’an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur’an itu sendiri.
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur’an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur’an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Tafsir
Upaya penafsiran Al-Qur’an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur’an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
Adab Terhadap Al-Qur’an
Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur’an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur’an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur’an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.
Pendapat pertama
Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur’an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi’ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur’an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur’an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi’ah di atas ialah: “Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah.” Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]
[sunting] Hubungan dengan kitab-kitab lain



MEMAHAMI POSISI AL-QURAN SEBAGAI WAHYU

Memang benar, bahwa kaum muslimin saat ini sangat membutuhkan ahli-ahli tafsir untuk bisa menarik hukum-hukum rinci dari ayat-ayat Al Qur’an. Namun dalam hal ini umat pun perlu tahu cara-cara penafsiran yang bisa diterima dan siapa yang sebenarnya cukup kompeten untuk menafsirkan Al Qur?an. Informasi semacam ini sangatlah penting, karena akhir-akhir ini banyak orang yang mencoba untuk menafsirkan Al Qur’an dengan cara-cara baru yang tidak merujuk kepada tekstual ayat dan hadits-hadits Rasul SAW, apalagi pendapat para shahabat. Pada faktanya kalangan ini tampak banyak menafikan shahabat, padahal justru para shahabatlah yang paling menguasai dan mengerti bahasa Arab (sebagai bahasa Al Qur’an) dan yang paling mengetahui kejadian-kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat. Para shahabat adalah mereka yang paling dekat dengan Rasulullah SAW (sebagai orang yang paling memahami Al Qur’an).

Oleh karena itu, sekalipun kaum muslimin sangat membutuhkan para ahli tafsir untuk bisa menarik hukum-hukum rinci dari ayat-ayat Al Qur’an dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang berkembang, namun umat juga harus senantiasa kritis dan selektif. Tidak selayaknya umat Islam menerima semua upaya penafsiran tanpa diteliti terlebih dahulu kelayakannya. Satu hal pokok yang sering luput dari perbincangan penafsiran teks-teks keagamaan adalah, bagaimana penerimaan manusia terhadap teks-teks tersebut.
Al Qur’an adalah sumber hukum yang bersifat spesifik. Upaya penafsiran terhadap teks-teks Al Qur?an akan mengena, hanya setelah tumbuh keimanan dan keyakinan terhadap Al Qur?an sebagai sumber yang bersifat pasti (qoth?I tsubut). Keraguan terhadap Al Qur?an sebagai sebuah sumber akan menggagalkan ?pekerjaan penafsiran?. Dengan demikian kaum muslimin tidak dapat menerima hasil penafsiran dari orang-orang yang masih meragukan kebenaran Al Qur?an sebagai sebuah wahyu yang datang dari Allah SWT, sebagai Sang Pencipta. Orang-orang yang meragukan sifat Al Qur?an sebagai Al Wahyu tidak bisa dipercaya kejujurannya dalam mengungkapkan pemahaman ayat-ayat Al Qur?an.
Terlebih lagi bila Al Qur?an telah dijadikan obyek pembahasan yang kemudian mereka nilai kebenarannya dan keotentikannya dengan metodologi asing (yang memiliki landasan filosofis yang bertentangan dengan Islam). Hanya sebuah dugaan memang, bila kita menyatakan bahwa musuh-musuh Islam kerapkali menyisipkan dan mengopinikan metodologi penafsiran yang justru hendak menjauhkan makna dan pemahaman Al Qur?an yang sebenarnya. Namun kenyataan sering membuktikan kebenaran asumsi-asumsi tersebut.
Perspektif manusia demikian mudah meletakkan setiap obyek pembahasan sesuai keinginan dan seleranya. Maka siapapun orang-orang yang tidak menginginkan Islam hadir dengan pola tertentu, akan mencoba meletakkan dan memandang Islam dari sudut yang mereka inginkan, sesuai kepentingan masing-masing. Untuk itulah, dalam rangka meletakkan Al Qur?an sesuai dengan posisi yang sebenarnya, maka Al Qur?an harus senantiasa dipahami berdasarkan perspektif tertentu yang telah ditetapkan Allah SWT melalui Al Qur?an itu sendiri dengan bantuan RasulNya. *
Apa itu Al Qur?an?* Muhammad Ali Ash Shobuny dalam kitab ?At-Tibyaan fii Uluumil Qur?an? menyatakan bahwa Al Qur?an adalah kalamullah yang tiada bandingannya (mu?jizat),yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW penutup para nabi dan rasul, dengan perantaraan malaikat Jibril as, ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir. Mempelajarinya merupakan ibadah, dimulai dari surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An Naas.
Definisi ini menurut beliau telah disepakati para Ulama dan Ahli Ushul. Dalam kitab yang sama beliau juga mengungkapkan bahwa Al Qur?an adalah kalamullah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya yang berjudul Syakhshiyyah Islamiyyah jilid I, menyebutkan bahwa Al Qur?an adalah lafazh yang diturunkan kepada Muhammad SAW bersama makna yang ditunjukkannya.
Karena itu beliau menyatakan bahwa makna saja tidak dapat dikatakan sebagai Al Qur?an. Demikian pula lafazh tanpa makna, sebab lafazh yang dibuat dan disusun tiada lain adalah untuk mengungkapkan makna tertentu. Lafazh Al Qur?an adalah lafazh bahasa Arab yang gaya pengungkapannya sangat indah, fasih dan baligh. Tiada satu kalimat pun yang susunannya menyimpang dari kaidah bahasa Arab.
Bahkan kepastian bahwa Al Qur?an berbahasa Arab telah dijelaskan oleh Allah SWT sendiri melalui firmanNya dalam QS Yusuf : 2 : ?Sesungguhnya Kami menurunkan berupa Al Qur?an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya?. Demikian pula firmanNya dalam Al Qur?an surat Fushilat : 3, Az Zumar : 28, Asy Syuura : 7 dan Az Zukhruf : 3 Al Qur?an Sebagai Mu?jizat Al Qur?an merupakan mu?jizat Nabi Muhammad SAW yang paling tinggi, paling besar dan paling ampuh untuk mensklukksn orang-orang yang ingkar terhadap kenabian beliau. Sekalipun Nabi Muhammad memiliki banyak mu?jizat, akan tetapi beliau tidak menggunakan mu?jizat-mu?jizat yang lain sebagai tantangan terhadap orang-orang yang mengingkari kenabian beliau.
Oleh karena itu kemu?jizatan Al Qur?an merupakan bukti kenabian Muhammad SAW, semenjak turunnya Al Qur?an sampai Hari Kiamat nanti. Sebab mu?jizat Al Qur?an adalah mu?jizat yang dapat diindera dan dibuktikan oleh seluruh manusia di setiap masa sampai Hari Kiamat. Hal ini memang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya : ?Setiap nabi pasti diberi sesuatu (mu?jizat) yang serupa dengannya, manusia akan meyakininya, tetapi yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diturunkan Allah kepadaku. Maka aku berharap menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya?. (HR Bukhari) Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut sebagai berikut : ?Mu?jizat para Nabi telah hilang dengan berlalunya masa mereka, tidak dapat disaksikan kecuali oleh orang-orang yang semasa dengannya.
Dalam pada itu mu?jizat Al Qur?an senantiasa ada sampai Hari Kiamat?. Kemu?jizatan Al Qur?an terletak pada gaya pengungkapan (uslub) yang digunakan untuk mengungkapkan makna-makna. Gaya pengungkapan Al Qur?an tersebut tampak dlaam kefasihan (fashahah), keindahan (balaghah) dan ketinggian taraf pemikiran yang diungkapkan sampai ke derajat yang mengagumkan. Gaya pengungkapan yang merupakan segi kemu?jizatan itu tampak jelas dalam tiga aspek :
*Pertama*, lafazh-lafazh dan susunan kata (tarkiib) yang digunakan. Al Qur?an telah menggunakan lafazh-lafazh dan susunan kata yang amat unik. Makna yang lembut diungkapkan dengan lafazh yang lembut. Makna yang kasar diungkapkan dengan lafazh yang kasar dan seterusnya. Intinya, pemilihan lafazh disesuaikan dengan makna yang akan diungkapkan sehingga mudah dipahami secara mendalam oleh pendengarnya. Misalnya ayat yang mengungkapkan surga dilafazhkan dengan lembut dengan gaya pengungkapan yang manis sehingga membuat orang sangat merindukannya. Sebaliknya bila mengungkapkan neraka, maka lafazh yang digunakan adalah lafazh yang kasar sehingga membuat pendengarnya merinding karena sangat takutnya, dan membuat orang begitu membencinya serta terdorong kuat untuk menjauhinya. *
Kedua,* irama kata yang digunakan. Susunan huruf dan kata-kata dalam Al Qur?an tersusun dalam irama yng khas dan unik, yang tidak pernah dijumpai dalam percakapan manusia, baik dalam syair maupun prosa. *Ketiga,* lafazh dan susunan kata yang digunakan mencakup makna yang luas dan menyeluruh. Al Qur?an telah menggunakan lafazh yang ringkas untuk makna yang luas dan mendalam.
Misalnya firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah : 179. Penggalan dari ayat 179 tersebut di atas, lafazhnya sedikit, namun bila diuraikan akan tergambar makna yang luas. Makna ayat tersebut adalah, apabila seseorang mengetahui bahwa kalau ia membunuh, akan dibunuh, maka hal ini akan mencegahnya dari pembunuhan. Jadi, dengan qishash, kejahatan pembunuhan tersebut akan lenyap di masyarakat. Dengan tiadanya pembunuhan, berarti akan terjamin keberlangsungan kehidupan kehidupan manusia di tengah masyarakat. Tujuan dari mu?jizat pada hakikatnya adalah untuk meyakinkan manusia bahwa orang yang membawa mu?jizat adalah benar-benar seorang nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah benar-benar berasal dari sisi Allah SWT.
Oleh karena itu, kemu?jizatan Al Qur?an merupakan bukti nyata dan meyakinkan bahwa Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar seorang Nabi dan rasul, sekaligus membuktikan bahwa Al Qur?an adalah kalamullah yang mutlak kebenarannya. Keimanan terhadap Al Qur?an memiliki konsekuensi yang lebih jauh lagi, yakni menerapkan dan mengamalkan Al Qur?an. Allah SWT berfirman dalam salah satu ayat Al Qur?an bahwa seseorang baru dikatakanberiman bila ia menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai hakim (pemutus perkara) dalam perkara yang diperselisihkan (lihat An Nisaa : 65). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman : ?Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah?. (Al Hasyr : 7). Ayat ketujuh surat Al Hasyr di ats mewajibkan kaum muslimin untuk mengambil dan mengamalkan apa saja yang berasal dari Rasulullah SAW, baik Al Qur?an itu sendiri maupun As Sunnah. Sebab kata ?maa? (apa saja) dalam ayat itu bersifat umum, mencakup Al Qur?an dan As Sunnah.
Kedua ayat di atas termasuk di antara dalil syar?I yang mewajibkan kaum muslimin untuk menerapkan dan mengamalkan syari?at islam yang terkandung dalam Al Qur?an dan As Sunnah. Kewajiban ini mencakup keseluruhan syari?at Islam, tidak sebagian-sebagian, sebagaimana firmanNya dalam QS Al Baqarah : 208. ?Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan?. Berdasarkan hal ini, kaum muslimin harus memiliki sikap yang benar terhadap Al Qur?an. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa mereka harus pula mampu memahami cara yang benar dalam menafsirkan Kalamullah ini. Cara yang benar dalam menafsirkan ini haris berlaku sepanjang jaman. Mu?jizat Al Qur?an dari sisi bahasa adalah hal yang berlaku sepanjang masa.
Al Qur?an diturunkan dalam bahasa Arab saja yang semurni-murninya, tidak kemasukan bahasa asing apapun juga. Karena itu, siapapun yang hendak memahami Al Qur?an ia harus memahami bahasa Arab. Adapun mengenai pemahaman dan kreasi pengembangannya dapat berubah, terutama jika pemahaman itu berkaitan dengan satu atau beberapa ayat, dan si penafsir sendiri mengetahui dengan jelas terjadinya apa yang diisyaratkan oleh ayat tersbut di tengah-tengah kehidupan baru, seperti kemajuan corak peradabandan lain-lain. Hal-hal semacam itu tidak tetap dalam segala jaman akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan keadaan. Misalnya perubahan politik, ekonomi, keuangan, perdagangan dan hubungan internasional, baik di masa damai maupun perang. Selain itu juga akibat terjadinya perubahan bentuk-bentuk hubungan sosial antara pria dan wanita, peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan, serta munculnya berbagai masalah baru yang belum dikenal sebelumnya.
Dengan demikian di jaman kita ini, hal utama yang harus diperhatikan adalah meletakkan posisi Al Qur?an di tempat yang seharusnya. Akal manusia dapat berkembang dalam memahami nash-nash Al Qur?an sejalan dengan fenomena kemajuan peradabannya, namun ia harus tetap berada dalam batas-batas makna yang ditunjukkan oleh nash-nash itu sendiri dan dalam batas pengertian ?penafsiran? yang harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan sampai terseret kepada makna atau pengertian yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan nash-nash Al Qur?an. /Wallaahu a?lam bishshowab./
*PUSTAKA*
1. An Nabhani. Asy Syakhsiyah Al-Islamiyah. Juz I.
2. Muhammad Husain Abdullah. Dirasah Fil Fikril Islami. 1991. Darul Bayariq. Beirut. Kembali ke Menu Utama Site Sponsors sponsor logo sponsor logo sponsor logo WIRED
Ringkasan Ilmu Ringkasan Ilmu Al Qur’an dan Hadits
Pengertian al-Qur’an April 13, 2007 oleh Abu Aufa Mukhtashar Ulumil-Qur’an [Ringkasan Ilmu Al Qur'an]
Pengertian al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro’a yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna /Jamaa/ (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro’a Qor’an Wa Qur’anan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’ul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jamaa) maka ia adalah mashdar dari Ism Fa’il, artinya Jaami (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Secara Syariat (Terminologi) Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Allah ta’ala berfirman, Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. (al-Insaan: 23). Dan firman-Nya, Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf: 2) Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya, Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya. (al-Hijr:9)
Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka kedoknya. Allah ta’ala menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya. Allah ta’ala berfirman, Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. (al-Hijr:87) Dan firman-Nya, Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia. (Qaaf:1) Dan firman-Nya, Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Shaad:29) Dan firman-Nya, Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. (al-An’am:155) Dan firman-Nya, Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. (al-Waqi’ah:77) Dan firman-Nya, Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.
Dan firman-Nya, Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (al-Hasyr:21) Dan firman-Nya, Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.
Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah:124-125) Dan firman-Nya,
Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya) (al-An’am:19) Dan firman-Nya, Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar. (al-Furqan:52) Dan firman-Nya, Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (an-Nahl:89) Dan firman-Nya, Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (al-Maa’idah:48)
Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syariat Islam yang karenanya Muhammad shallallaahu alaihi wasallam diutus kepada seluruh umat manusia. Allah ta’ala berfirman, Dan firman-Nya, Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia). (al-Furqaan:1)
Sedangkan Sunnah Nabi shallallaahu alaihi wasallam juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman, Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (an-Nisa:80) Dan firman-Nya, Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab:36) Dan firman-Nya, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah (al-Hasyr:7) Dan firman-Nya, Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran:31)




Definisi Al Qur’an dan Wahyu

A. Definisi Al Qur’an
1. Pengertian Al Qur’an
Beberapa definisi tentang al-qur’an telah di kemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu kalam, ushul fiqh dan sebagainya.Definisi-definisi itu sudah tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena stressing (penekanannya) berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-salih merumuskan definisi al-qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama,terutama ahli bahasa,ahli fiqh dan ahli ushul fiqh. Sebagai berikut:
Al Quran adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf – mushaf, yang di nukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah.

2.Asal kata Al-qur’an
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al-qur’an. Di antaranya:
a. Al-Syafi’I salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204.H.) berpendapat, bahwa kata Al-qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-quran,bukan Al-qur’an) dan tidak diambil dari kata lain.Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang di berikan kepada Nabi muhammad,sebagaimana nama injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masung kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b. Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’nil qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat Al-qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Lihyani,seorang ahli bahasa (wafat 215 .H.) berpendapat, bahwa lafadz Al-qur’an itu berhamzah,bentuknya masdar dan diambil dari kata قراء ,yang artinya membaca.hanya saja lafadz Al-qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul, jadi Al-qur-an artinya maqru’ (dibaca).
d. Dr.Subhi Al-Salih, pengarang kitab mabahist fi ulumil qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafadz Al-qur’an itu masdar dan sinonim (murodif) dengan lafadz qiro’ah, sebagaimana dalam surat Al-Qiyamah ayat 17-18. ان علينا جمعه وقرانه فاذاقرأناه فاتبع قرانه

B. Definisi Wahyu
1. Pengertian Wahyu
Wahyu menurut bahasa ialah memberikan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat sedangkan menurut pengertian agama, wahyu adalah pemberitahuan tuhan kepada nabinya tentang hukum-hukum tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada nabi / rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah dari Allah sendiri. Sesuai dengan ayat 51 dari surat Al-Surra.
Berdasarkan atas ayat tersebut maka wahyu itu ada tiga macam:
1. pemberitahuan tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan termasuk mimpi yang tepat dan benar, misalnya habi Ibrahim diperintah melalui mimpi menyembelih puteranya (Ismail). Peristiwa ini diungkapkan oleh Allah dalam surat Al- Shofat ayat 102.
2. Mendengar firman Allah dibalik ta’bir, seperti yang dialami nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabianya. Peristiwa ini disebutkan dalam surat Thaha ayat 11-13. Demikian pula peristiwa mi’raj nabi Muhammad, dimana nabi menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk mendirikan shalat lima waktu
3. Penyampaian wahyu (amanat) Tuhan dengan perantaraan Jibril As .Ini ada dua macam :
a. Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s.
b. Nabi tidak melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar suaranya seperti suara lebah atau gemrincing bel.

2. perbedaan Al Qur’an dan hadits quudsi
Menurut At Thibi : Al Quran adalah lafazd yang diturunkan oleh malaikat jibril dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun hadits Qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau mimpi, kemudian Nabi memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits - hadits yang lain tidak disandarakan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.

Asbabun Nuzul
Pengertian
Asbabun Nuzul adalah “Semua yang disebabkan olehnya diturunkan oleh suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada sa’at terjaddi peristiwa itu “.
Fakta sejarah menunjukan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-qur’an itu ada dua macam yaitu :
1. Turunnya dengan didahului oleh suatu sebab.
2. Turunnya tidak didahului oleh suatu sebab.
a. Ayat-ayat yang turun dengan didahului oleh suatu sebab

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( Qs : Al Baqarah ; 221)
Turunnya ayat ini adalah karena ada peristiwa sebagai berikut :
Nabi mengutus Murtsid al-Ghanawi kemekah untuk tugas mengeluarkan orang-orang islam yang lemah. Setelah dia sampai disana,dia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya, tetapidia menolak, karena takut kepada Allah. Kemudian wanita tersebut datang lagi dan minta agar dikawini. Murtsid pada perinsipnya dapat menerimanya, tetapi dengan syarat setelah mendapat persetujuan dari Nabi. Setelah dia kembali ke madinah, dia menerangkan kasus yang dihadapi dan minta izin kepada Nabi untuk menikah dengan wanita itu. Maka turunlah surat Al-Baqarah : 211.
Contoh ayat-ayat yang turun karena ada pertanyaan yang diajukan kepada Nabi, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 21


Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (136) dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir ( Qs ; Al Baqarah : 211)
b. Ayat - ayat yang turun tanpa didahului suatu sebab
ayat - ayat semacam ini banyak terdapat dalam Al Quran, sedangkan jumlahnya lebih banyak daripada ayat ayat hukum yang mempunyai asbabun nuzul. Misalnya ayat ayat yang mengisahkan tentang umat – umat terdahulu beserta para nabinya.
Namun demikian, ada juga ayat – ayat tentang kisah ang diturunkan karena ada sebab misalnya surat yusuf seluruhnya adalah ada keinginan yang serius dari para sahabat yang disampaikan kepada nabi, agar nabi berkenan bercerita yang mengandung pelajaran dan peringatan. Adapun sahabat yang menceritakan latar belakang turunnya ayat- ayat dari surat yusuf (1 – 3) adalah Saad Bin Abi Waqash.
Sejarah turunnya Al Qura’an
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari surat atau berupa surat yang pendek secara lengkap. Adapun penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan, memakan waktu lebih kurang 23 tahun, ya’ni 13 tahun ketika Nabi masih tinggal di Makkah sebelum hijrah dan 10 tahun ketika Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu Illahi yang diturunkan sebelum hijrah, disebut surat / ayat Makiyah yang merupakan 19/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya pendek-pendek,sedang bahasanya singkat, karena sasaran yang pertama pada periode Makkah ini adalah orang-orang Arab asli ( suka Quraisy dan suku-suku Arab lainnya ), yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa Arab. Mengenai ini surat Makiyah pada umumnya, berupa ajakan (seruan ) untuk bertauhid yang murni juga tentang pembinaan mental dan ahlak.
Adapun wahyu Illahi yang diturunkan sesudah hijroh, disebut surat / ayat Madaniyah,dan merupakan 11/30 dari Al-Qur’an. Surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan lebih jelas, karena sasarannya bukan hanya orang-orang Arab asli, melainkan jaga non-Arab dari berbagai bangsa, yang telah mulai banyak masuk islam dan sudah tentu mereka kurang menguasai bahasa Arab Mengenai isi surat-surat / ayat-ayat Madaniyah pada umumnya berupa norma-norma hokum untuk pembentukan dan pembinaan suatu masyarakat islam dan negara yang adil dan makmur.
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam qadar tanggal 17 Ramadhan, bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 610 M.( perhatikan surat Al-Qadar,1 Al-Dukhan ;3 Al-Anfal;41 Al-Baqarah ;185 ).
Wahyu yang pertama kali duterima oleh Nabi ialah ayat 1-s/d 5 surat Al-Alaq, pada waktu Nabi berada di goa hira, sedangkan wahyu yang terakhir diterima Nabi adalah surat Al-Maidah ;3 pada waktu Nabi sedang melakukan wukquf diArafah melakukan haji wada'

Makkiyah dan Madaniyah
Definisi Makkiyah dan Madaniyah
Makkiyah ialah surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya diluar Makkah, sedangkan Madaniyah ialah surat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah meskipun turunnya di Makkah. Definisi ini adalah yang masyhur di kalangan ulama, karena mengandung pembagian Makkiyah dan Madaniyah secara tepat dan safe. Menurut definisi ini, maka surat Al- Maidah ayat 4 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah pada hari jum’at, ketika Nabi melakukan haji wada.Demikian pula surat Al-Nisa ayat 58; adalah madaniyah, sekalipun diturunkan di Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah.

Ciri-ciri khas untuk surat Makkiyah
Ada beberapa ciri khas bagi surat Makkiyah, tetapi hanya bersifat Aghlabi yaitu :
1. Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek-pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak.
2. Mengandung seruan untuk beriman kepada Allah dan hari qiamat dan menggambarkan surga dan neraka.
3. Mengajak manusia untuk berahlaq mulia dan berjalan dijalan yamg benar.
4. Membantah orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan kepercayaan dan perbuatannya.
5. Terdapat banyak lafadz sumpah.
Adapun cirri-ciri khas yang bersifat Aghlabi untuk Madaniyah antara lain adalah:
1. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang,sebagian ayat-ayatnyapun panjang dan gaya bahasanyapun cukup jelas didalam menerangkan hokum-hukum agama.
2. Menerangkan secara rinci bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukan hakikat-hakIkat keagamaan.

Kodifikasi Al Qur’an
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an telah dimulai sejak turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana daketahui, Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Setiap Nabi menerima wahyu, Nabi SAW lalu membacakan dihadapan para sahabat karena beliau memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur;an kepada mereka ( Q.S.16:44 ). Di samping menyuruh sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi juga memerintahkan sahabat yang pandai menulis untuk menuliskannya diatas pelepah-pelepah kurma,lempengan batu dan kepingan tulang.Sahabat yang pandai menulis juga sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat. Hal ini didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang harus dijadikan pedoman hidup,sehingga perlu dajaga dangan baik.
Setelah ayat-ayat yang di turunkan cukup satu surat, Nabi memberi nama surat tersebut untuk membedakannya dari surat yang lain. Nabi juga memberi petunjuk tentang urutan panempatan suratnya. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi.Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an, setiap tahun malaikat Jibril datang kepada Nabi untuk memeriksa bacaannya. Kemudian juga Nabi juga melakukan hal yang sama kepada sahabat-sahabatnya, sehingga dengan demikian terpeliharalah Al Qur’an dari kesalahan dan kekeliruan.
Rasullah tidak pernah menulis Al Qur’an karena beliau tidak pandai menulis dan membaca tetapi beliau sangat kuat untuk mendorong sahabat – sahabatnya untuk belajar baca tulis. Para tawanan perang badar yang pandai menulis oleh Rasulullah di minta untuk mengajar masyarakat sebagi tebusan kemerdekaan diri mereka. Selain itu, juga telah ada beberapa sahabat yang pandai baca tulis jauh sebelum mereka masuk islam. Sahabat – sahabat yang telah pandai baca tulis jauh sebelum mereka masuk islam sahabat – sahabat inilah yang aktif menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu, para penulis itupun segera dipanggil untuk menulis dan mencatatnya disamping sahabat – sahabat yang menghafalnya.
Setelah hijrah kemadinah,. Nabi memiliki juru tulis khusus. Menurut M.M. Azmi (ahli sejarah) dalam bukunya, kitab an-nabi ada sejumlah 48 orang sahabat penulis Al Qur’an. Diantara mereka yang paling terkenal ialah Zaid Bin Tsabit. Sebelum rasulullah wafat, Al Qur’an secara keseluruhan telah selesai penulisannya dengan urutan surat – surat dan ayat – ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah sendiri. Penulisannya dimasa itu masih menggunakan alat – alat yang sangat sederhana, seperti pelepah kurma, kepingan tulang, dan lempengan – lempengan batu, sehingga sulit dihimpun dalam satu kumpulan.
Setelah Rasulullah wafat dan Abu bakar dipilih menjadi kholifah. Tulisan-tulisan Al Qur’an yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma,tulang dan batu-batuan tetap disimpan dirumah Rasulullah sampai terjadinya perang yamamah yang meranggut korban kurang lebih tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an, kemudian timbul kekhatiran dikalangan sohabat akan terjadimya perang lagi, yang akhirnya menyababkan hilangnya Al Qur’an. Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun surat-surat dan ayat-ayat yang masih berserakan itu kedalam satu mushaf.
Pada mulanya abu Bakar berat menerima usulan umar karena pekerjaan seperti itu belum pernah dikerjakan oleh rasulullah. Setelah umar meyakinkan abu bakar bahwa pekerjaan pengumpulan alquran semata – mata unutk memelihara kelestarian alquran, barulah ia menyetujuinya. Abu Bakar lalu memerintahkan Zaid Bin Tsabit untuk memimpin tugas pengumpulan ini dengan dibantu oleh ubay bin kaab, ali bin abi thalib utasman bin affan dan beberapa sahabat lainnya. Meskipun Zaid Bin tsabit seorang penghafal Al Quran dan banyak menuliskan ayat – ayat di masa Nabi, ia tetap sangat berhati – hati dalam melakukan pengumpulan ayat – ayat alquran itu. Didalam usaha pengumpulan ini Zaid Bin Tsabit berpegang pada tulisan – tulisan yang tersimpan di rumah rasulullah, hafalan – hafalan dari sahabat, dan naskah –naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk mereka sendiri. Zaid bin Tsabit menghimpun surat – surat dan ayat – ayat Al Qur’an sesuai dengan petunjuk Rasulullah sebelum beliau wafat dan menulisnya atas lembaran –lembaran kertas yang disebut suhuf.
Ketika Umar menjabat khalifah mushaf itupun berada pada pengawasannya. Setelah umar wafat, mushaf ini disimpan dirumah Hafsah.
Pada masa kholifah Usman bin Affan ,timbul perbedaan pendapat dikalangan umat islam mengenai qira’ah, karena dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan, kemudian Hudaifah mengusulkan kepada kholifah Ustman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan membuat mushaf Al Qur’an standar yang kelak akan dijadakan pegangan bagi seluruh umat islam. Menanggapi usul Hudaifah, lalu Usman msmbentuk panitia yang terdiri atas Zaid bin sabit sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah Abdullah bin zuber ,Sa’ad bin As, dan Abdurrahman bin haris. Kemudian Usman meminjam mushaf yang di simpan dirumah Hafsah,dan memberikannya kepada panitia yang telah terbentuk. Setelah tugas panitia selesai,Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada hafsah. Al-Qur’an yang telah disalin dengan dialek yang seragam di masa Utsman itulah yang disebut mushaf Utsmani.
Usaha kodifikasi Al Qur’an dimasa Utsman membawa beberapa keberuntungan antara lain sebagai berikut;
1. menyatukan umat islam yang berselisih dalam masalah Qiraah
2. menyeragamkan dialek bacaan AL Qur’an.
3. menyatukan tertib susunan surat – surat menurut tertib urut seperti dlam mushaf – mushaf yang di jumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Utsman keberbagai propinsi islam pada saat itu mendapat sambutan yang positif dikalangan umat islam. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati – hati.
Bentuk Mushaf utsmani tulisan Al Qur’an masih memakai huruf – huruf khufi (huruf huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris). Namun hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al Qur’an karena umumnya sahabat adalah orang – orang yang fasih dalam bahasa arab, bahkan kebanyakan mereka membaca Al Qur’an dengan lancar. Akan tetapi setelah banyak orang – orang non arab memeluk islam, timbul kesulitan besar dalam membaca tulisan Al Qur’an. Kalaupun ada yang bisa membacanya, maka pembacaanya banyak mengandung kesalahan dan kekeliruan akibat tidak adanya tanda – tanda baca yang memadai. Apabila keadaan ini dibiarkan berlarut –larut, dikhawatirkan akan timbul kekacauan dikalangan umat islam.

Mushaf non Utsmani .
A. Mushaf primer dan sekunder
Telah di kemukakn eksistensi sejumlah kodifikasi tertulis al-Qur’an yang pengumpulannya diupayakan secara sadar oleh sejumlah sahabat Nabi.Kumpulan-kumpulan tertulis ini telah mempengaruhi kumpulan-kumpulan al-Qur’an yang diupayakan generasi berikutnya. Sebelum Ustman ibn Affan melakukan penyeragaman teka al-Qur’an pada masa kekhalifahannya. ketika Ustman melakukan unifikasi teks, capian-capian para sahabat Nabi dan generasi berikutnya ini tetap eksis melalui tranmisi lisan ataupun tertulis dari generasi ke generasi serta di rekam dalam sumber-sumber awal sebagai variandiluar teks Ustmani, atau sebagai mushaf-mushaf pra Usmani.
Pada abad ke 4H/10 beberapa sarjana muslim melakukan kajian khusus tentang fenomena Mashahif ini. Kajian paling terkenal adalah yang dilakukan ibn al-Anbari (w. 940), mendahului karya ibn Mujahid(w. 935) tentang kiraah tujuh. Sayangnya, Kitab al-Mashahif yang disusun al-Anbari itu lenyap di telan masa, dan hanya di temukan bekasnya dalam kutipan-kutipan yang dibuat sarjana muslim belakangan, seperti dalam karya al-Syuyuti. Satu-satunya karya dari masa ini yang sampai ketangan kita adalah yang di susun ibn Abi Dawud (w. 316), kitab al-masahif. Kitab ini merupakan yang paling sempit cakupannya dibandingkan kitab-kitab lainnya dari masa tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan mushaf primer adalah mushaf-mushaf independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat Nabi. Dan itu ada 15 kodeks diantaranya :
a. Mushaf ubay bin Ka’ab.
b. Mushaf ibn Mas’ud.
c. Mushaf Zaid ibn Tsabit.
d. Mushaf ibn Abbas dll.
Sementara Mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang sangat bergantung atau didasarkan pada mushaf primer serta mencerminkan tradisi bacaan kata-kota besar islam,sementara mushaf sekunder ada 13 kodeks diantaranya :
a. Mushaf Said ibn Zubair.
b. Mushaf al-Aswad ibn Yazid.
c. Mushaf Mujahid’
Mushaf-mushaf perimer ini, Sebagaimana telah diungkapkan, menunjukkan upaya yang sadar di kalangan sahabat Nabi untuk mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi dan sepeninggalannya, sebelum eksis mushaf Ustmani. Sementar mushaf sekunder lebih memperlihatkan pengaruh mushaf-mushaf primer dan meruoakan cerminan dari tradisi bacaan al-Qur’an di kota-kota metropolitan Islam. Di samping itu, sebagian mushaf kategori ini muncul dikalangan generasi ke dua islam, setelah adanya pengumpulan al-Qur’an yang di lakukan pada masa khalifah ke tiga.
Sehubungan dengan mushaf-mushaf primer, mayoritas nama yang di pandang memiliki mushaf dalam skema di atas sejalan dengan laporan-laporan mengenai orang-orang yang mengumpulkan al-Qur’an di masa Nabi atau setelah wafatnya. Sekalipun demikian, hanya jumlah kecil dari mushaf-mushaf para sahabat ini yang berhasil menanamkan pengaruh yang luas di dalam masyarakat Islam. Dalam waktu tenggang 20 tahun, mulai dari wafatnya Nabi sampai pengumpulan al-Qur’an di masa ustman, hanya sekitar empat mushaf sahabat yang berhasil memaparkan pengaruhnya dikalangan masyarakat. Asal muasal pengaruh ini tentunya pulang kepada individu-individu yang dengan nama mushaf itu di kenal. Keempat sahabat Nabi yang di maksud di sini adalah : (i) Ubay ibn Ka’b yang kumpulan al-Qur’annya berpengaruh di bagian besar daerah siria ; (ii) abd Allah ibn mas’ud, yang mushafnya mendominasi daerah kufa; (iii) AbuMusa al-As’ari,yang mushafnya memperoleh pengakuan masyarakat basrah; dan (iv) Miqdqd ibn Aswad (w. 33H), yang mushafnya diikuti penduduk kota hims, tetapi tidak tercantum dalam skema di atas. Di samping itu mushaf ibn Abbas, tidak menjadi otoritas pada masanya, juga perlu mendapat perhatian mengingat signifikansinya yang nyata dalam perkembangan kajian al-Qur’an belakangan.

B. Mushaf Ubay ibn Ka’b.
Ubay ibn Ka’b adalah seorang anshar dari bani Najjar, yang masuk Islam pada masa cukup awal dan turut serta dalam sejumlah pertempuran besar di masa Nabi, seperti dalam perang badar dan Uhud. Pengetahuan tulis menulis ysng di kuasainya dengan baik, bahkan sebelum masuk Islam, membuat Nabi menunjuknya sebagai salah seorang seketarisnya begitu tiba di Madinah. Kegiatan Ubay sebagai sfketaris Nabi tidak hanya terbatas tidak hanya sebatas korisponsi, tetapi mencatat wahyu-wahyu yang di terima Nabi.Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu dan merupakan salah satu dari empat Sahabat yang disarankan Nabi agar umat Islam mempelajari al-Qur’an darinya,.Dalam beberapa hal, otoritas tentang masalah-masalah al-Qur’qn bahkan lebih besar dari ibn Mas’ud. Selain itu ia juga di kenal sebagai Sayyid al-Qurrq’(“pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an”).
Mushaf Ubay di kabarkan turut dimusnahkan ketika dilakikan standar disasi teks al-Qur,an pada masa Ustman. Bn abi daud menuturkan suatu riwayat bahwa beberapa orang datang dari Irak menemui putra Ubay,Muhammad, untuk mencari keterangan dalam mushaf ayahnya. Namun ,Muhammad mengungkapkan bahwa mushaf tersubut telah disita Ustman.Dalam kaitannya dengan susunan surat,terdapat perbedaan yang relatif kecil antara mushaf Ubay dengan mushaf Ustman.

C. Mushaf Ibn Mas’ud
Abd Allah ibn mas’ud adalah salah seorang sahabat nabi yang mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan pengikut awal Nabi, ia berasal dari strata bawah masyarakat Makkah. Setelah masuk Islam ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya. Ketika Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisia, ia pergi bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana. Setelah hijrah ke Madinah, ia dikabarkan tinggal di belakang masjid Nabawi dan berpartisipasi dalam sjumlah peperangan, seperti dalam perang badar dimana dia memenggal kepala Abu jahal, perang Uhud dan perang Yarmuk. Pada masa pemerintah Umar, in Mas’ud dikirim keKufah sebagai qadli dan kepala perbenda haraan negara (bayt al-mal).Tampaknya pekerjaan sebagai abdi di negara ini tidak berjalan sukses di jalaninya. Pda masa pemerintaahan Usmtman ia di pecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah serta meninggal di kota ini pada 32H atau 33H dalam usia lebih dari 60 tahun. Menurut versi lain, ia meningal di Kufah dan tidak di pecat dari jabatannya oleh Ustman.
Ibn mas’ud merupan salah satu otoritas terbesar dalam al-qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah memunkinkannya mempelejari sekitar 70 surat secara langsung dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia meripakan salah seorang yang pertama-tama pengajarkan bacaan al-qur’an. Ia di laporkan seagai orang pertama yang membaca bagian-bagian al-qur’an dengan suara lantang dan terbuka di Makkah. Lebuh jauh sebagai mana telah di singgung , hadist juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang dari emopat Sahabat yang di rekomendasikan nabi sebagai tempat bertanya tentang al-qur’an. Otorita dan popularitaasnya dalam al-qur’an memuncak ketika bertugas di kufah, dimana mushafnya memiiliki pengaruhn luas.
Di kufah sendiri, sejumlah muslim menerima keberadaan mushaf baru yang di keluarkan Ustman. Tetepi sebagian besar penduduk kota ini tetap memegang mushaf ibn Mas’ud, yang ketika itu telah di pandang sebagai mushaf orang kufah.karekteristik lsinnysa dari mushaf ibn mas’ud terletak pada susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf Ustmani.

D. Mushaf Abu Musa al-As’ari
Abu Musa al-As’ari, berasal dari Yaman, tergolong kedalam kelompok orang yang masuk islam pada masa awal. Di kabarkan bahwa ia juga berhijrah ke Abisia dan baru kembali pada masa penaklukan khaibar. Setelah itu, ia di beri posisi sebagai gubernur suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Basrah. Pada pemerintahan Ustman ia di copot dari jabatan tersebut dan akhirnya di angkat kembali dalam jabatan yang sama di kota kufah. Kitika Usman terbunuh penduduk Kufah menentang ali ibn Abi Thalib, yang memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota itu. Ia juga terlibat dalam perang hiffin pada 37H antara Ali dan mu’awiyah, sebagai arbitrator untuk khalifah Ali, tetapi gagal memainkan perannya. Di sinilah akhir aktifitas Abu Musa dalam percaturan politik. dikabarkan ia kembali ke mekkah, lalu ke kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52h.
Abu Musa sejak awal tertarik pada pembacaan Al-Qur’an. Di kabarkan bahwa suara bacaan Al-Qur’annya sangat terkenal di masa nabi, mushaf Al-Qur’an barang kali baru di kumpulkan pada masa Nabi, lalu di selesaikan setelah itu. Ketika menjabat sebagai gubernur Basrah, mushafnya bisa di sebut dan di rujuk dengan nama lubab al-Qulub mulai di terima dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif penduduk kota tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya mushaf Abu Mua terlihat tenggelam dan memudar pengaruhnya dengan di terimanya mushaf Ustman sebagai mushaf otoritatif hal ini bisa di lihat kenyataannya hanya sejumlah kecil varian bacaannya yang sampai ketangan kita.

E. Mushaf ibn Abbas
Nama sebenarnya ibn Abbas Abu Al Abbas Abd Allah ibn Abbas,Keponakan Nabi menduduki tempat sangat terkemuka hal ini terlihat dari figurasi dirinya sebagai tarjumah Al-Qur’an, al-bahr dan habr al umah. Nama ibn Abbas mulai menonjol setelah khalifah ustman mempercayakannya memimpin ibadah haji pada 35H, suatu tahun yang menentukan dalam pelajaran politik Ustman. Lantaran hal itulah ia tidak ada di Madinah ketika Usman terbunuh, Pada masa khalifah Ali ia di tunjuk sebagai gubernur Basrah ketika Ali terpaksa menerima arbitrase shuffin. Ia berkeinginan menjadikan ibn Abbas sebagai wakilnya, tetapi di tentang para pengikutnya yang cendrung mewakilkannya Abu Musa al-As’ari. Walau demikian, ibn Abbas menyertai Abu Musa dalam proses arbitrase itudi mana Ali di makzulkan oleh Muawiyah yang akhirnya membangun dinasti umayyah. Nama ibn Abbas sering muncul dalam daftar orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa nabi. Salah satu karektaristik mushaf ibn Abbas eksisnya ada dua surat ekstra “surat al-khal dan surat al-hafd”di dalamnya sebagai mana dalam mushaf Ubay dan Abu Musa.Denagn demikian jumlah keseluruhan surat dalam mushaf ibn Abbas adalah sebanyak 116 surat.

Penyempurnaan Ortografi Al Qur’an
A. Karakteristik Ortografi Utsmani
Karakteristik ortografi mushaf utsmani sebagai berikut:
 Penulisan ت sebagai pengganti ةØ
Ø Huruf waw (و ) dan ya’(ى) sering di hilangkan, ketika vokal diringkas karena suatu penggabungan kata. Sedangkan huruf alif ( ا ) sebagai huruf vokal, dalam kasus senada, hanya di temukan dalam kata ايها yakni menjadi ايه
 Nunasi (tanwin) ditulis dengan ن dala kata كاين yakni كأين atau كائن , yang membuat derivasi kata tersebut dari menjadi kabur.Ø
 Partikel ya selalu di tautkan pada kasus vokatif, dan lebih menyatu dalam ungkapan يبنؤم ( secara terpisah يا ابن أم )Ø
Ø Ragam tulis aksara tidak mengenal perbedaan antara konsonan b(ب ), t(ت ), ts(ث), n(ن), dan ya(ي), pada permulaan dan di tengah – tengah suatu kata, atau b(ب ), t(ت ), ts(ث) pada penghujung kata , atau f (ف), dan q(ق) pada peremulaan dan di tengah – tengah kata, serta konsonan – konsonan j (ج), h ( ح ), kh ( خ (,d (د), dz (ذ), r (ر ), z (ز); s (س), sy (ش), sh ( ص ), dl ( ض), th ( ط ), zh ( ظ ), ‘ ( ع ), g (غ)

B. Latar belakang penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Langkah penyeragaman teks yang dilakukan oleh khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, lewat pengumpulan resm Al Qur’annya, terutama sekali dapat dilihat sebagai tonggak awal upaya standardisasi teks maupun bacaan Al Qur’an. Alasan utama yang berada dibalik kodifikasi tersebut – yakni perbedaan tradisi teks dan bacaan yang mengarah pada perpecahan politik umat islam, demgan gamblang memperlihatkan hal ini. Bentuk scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin Al Qur’an ketika itu masih membuka peluang bagi seseorang untuk membaca teks kitab suci secara beragam.
Keyakinan – keyakinan keagamaan kaum muslimin khususnya kepercayaan terhadap karakter I’jaz dan kesucian Al Qur’an serta terhadap perhitungan dihari kemudian yang menanti orang – orang yang merusaknya, akan merupakan pencegahan utama terhadap setiap upaya untuk merekayasa dan memaparkan bacaan – bacaan Al Qur’an lewat inisiatif perorangan. Karena itu, pelik membayangkan bahwa seorang muslim yang saleh secara pribadi akan berinisiatif untuk menetapkan huruf –huruf hidup dan konsonan untuk membaca Al Qur’annya sendiri, karena hal ini akan mengakhiri totalitas Al Qur’an sebagai mu’jizat.

Dengan mempertimbangkan ketertariakan kaum muslimin yang sangat kuat terhadap tradisi orang dan ketidak kepercayaan mereka terhdap kata-kata tertulis maka asumsi tentang scriptio plena sebagai “ biang kerok” munculnya berbagai perbadaan bacaan jelas tidak dapat dipertahankan.
Merupakan fakta empiris bahwa tidak satu kitab sucipun selain Al Qur’an yang telah di transmisikan dalam suatu sekala yang sangat luas dan berkesinambungan dari generasi kegenerasi lewat mata rantai perawi yang otoritatif dan sangat qualified menurut penialaian orang – orang yang sezaman dengan mereka. Sama sekali tidak ada alasan bagi generasi – generasi muslim yang belakangan untuk merekayasa bacaan – bacaan Al Qur’an karena mereka memiliki tradisi bacaan Al Qur’an yang kaya, yang di transmisikan dari para sahabat nabi yang menerima langsung dari nabi.
Hadits – hadits yang teruji kesahihannya mengenai tujuh ragam dialectal Al Qur’an juga merupakan bukti bahwa keragaman bacaan mesti dikembalikan kepada keragaman bacaan – bacaan otentik pada masa Nabi, bukan kepada upaya – upaya belakangan untuk mengisi kekosongan dalam mushaf Utsmani yang tidak bertanda baca.
Merupakan kenyataan bahwa para qurra’ yang berasal dari suatu mazhab gramatik tertentu merasa terpaksa mengikuti bacaan yang diajarkan kepada mereka.
Asumsi tentang scriptio defectiva sebagai penyebab munculnya keragaman bacaan mensyaratkan bahwa sebelum introduksi ragam tulis tersebut – yakni sepanjang periode Nabi, para sahabatnya dan generasi berikutnya – Al Qur’an berada dalam keadaan tidak pasti atau tidak tetap semacam limbo. Bentuk konkret kitab suci itu baru dihasilkan setelah penambahan titik – titik diakritis dan tanda – tanda vokal yang terjadi jauh berabad – abad setelah masa pewahyuannya.

C. Penyempurnaan Rasm Al Qur’an
Ketika domain politik islam semakin luas dan semakin banyak orang non – Arab memeluk Islam, berbagai kekeliruan dalam pembacaan teks Al Qur’an – yang disalin dengan scriptio defectiva – di kalangan pemeluk baru Islam semakin merebak. Akhirnya penguasa politik Islam mengambil keputusan untuk melakukan penyempurnaan terhadap Rasm Al Qur’an, dan langkah actual penyempurnaannya dikabarkan telah dilakukan oleh sejumlah ahli bahasa.
Baru pada masa kekholifahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661 – 680) langkah tersebut mulai dilakukan. Ziyad ibn Samiyah (w. 673), yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Basrah meminta Abu al – Aswad al Du’ali (605 – 688) agar menciptakan tanda-tanda baca dan membubuhkannya dalam mushaf untuk menghindari dari berbagai kekeliruan pembacaan Al Qur’an yang ketika itu semakin massif. Al Du’ali tidak langsung mengabulkan permintaan Ziyad, karena sebagaimana kisah – kisah yang bertalian dengan introduksi hal-hal baru terhadap Al Qur’an, misalnya pada kisah pengumpulan pertama Al Qur’an oleh Zayd ibn Tsabit – takut berbuat bidah. Namun, suatu ketika Al Du’ali mendengar sendiri orang lain keliru membaca bagian Al Qur’an (9:3) berikut:
انّ الله بريء من المشركين ورسوله
Kekeliruan pembacaan ayat ini terletak pada vokalisasi kata rasuluhu menjadi rasulihi yang mengakibatkan perubahan makna sangat substansial terhadap bagian Al Qur’an diatas. Ketika Al Qur’an itu dibaca benar sebagai rasuluhu maka maknanya adalah : “ sesungguhnya Allah dan Rasulnya berlepas diri dari orang – orang yang musyrik “ tetapi, ketika kata itu di pelintir menjadi rasulihi, maka maknanya akan berubah menjadi : “sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya. “
Melihat kekeliruan yang sangat fatal ini Al Du’ali lalu menghadap ziyad dan menyanggupi permintannya untuk melakukan penyempurnaan terhadap rasm Al Qur’an. Ia kemudian memprkenalkan tanda –tanda vocal yang penting yakni titik diatas huruf ( . ) untuk vocal a (fatahah), titik di bawah huruf (-.-) unutk vocal I ( kasroh ), titik di sela – sela atau di depan huruf (._ ) unutk vocal u (dhammah ), dua titik untuk vocal rangkap (tanwin ) dan unutk konsonan mati (sukun ) tidak di bubuhkan tanda apapun. Tanda – tanda vocal ini dalam penulisan mushaf di beri warna yang berbeda dari warna huruf – hurufnya. Menurut sebagian riwayat tidak seluruh huruf dalam mushaf di beri tanda vocal. Tanda – tanda ini hanya di cantumkan pada huruf – huruf terakhir tiap kata atau pada huruf – huruf tertentu yang memungkinkan terjadinya kekeliruan bacaan.
Pada masa kekhalifanhan Abbasiyah tanda – tanda vocal yang diciptakan Al Du’ali kemudian disempurnakan oleh Al Khalil Ibn Ahmad (718 – 786). Yang dilakukan Al Khalil adalah membubuhkan huruf alif (ا ) kecil diatas huruf untuk tanda vokal a, huruf ya’ ( ى ) kecil dibawah unutk vokal I, huruf wawu ( و ) kecil didepan huruf untuk tanda vokal u , menggandakan tanda – tanda vokal ini untuk melambangkan vokal rangkap (tanwin ) membubuhkan kepala huruf ha’ ( ) diatas huruf untuk tanda sukun. Sementara untuk tanda konsonan rangkap (syaddah ) di tempatkan kepala huruf sin ( ) di atasnya.
Pada masa pemerintahan Abd al Malik ibn Marwan (658 – 705) dari dinasti ummaiyah, gubernur irak, al Hajjaj ibn Yusuf ( W 714) menugaskan Nashr ibn Ashim ( W 708) dan Yahya ibn Ya’mur (w.747) – keduanya adalah murid Al Du’ali – untuk melanjutkan pekerjaan gurunya menyempurnakan aksara arab, khususnya dalam mengupayakan pembedaan konsonan bersimbol sama di dalam bahasa arab.
Upaya pemberian titik – titik diakritis untuk membedakan symbol – symbol konsonan yang memiliki perlambangan senada debagai berikut: kerangka konsonan ح supaya bisa di baca Kha’ (kh), diberi satu titik diatasnya ( خ ( atau satu titik di bawahnya ( ج ) untuk melambangkan konsonan jim (j) dan konsonan dasar yang tidak bertitik ( ح ) sebagai konsonan ha’ (h). symbol konsonan di beri a\satu titik di atasnya ( ن) untuk melambangkan konsonan nun (n ), atau dua titik diatasnya ( ت ) untuk huruf mati ta (t), atau tiga titik diatasya ( ث ) untuk konsonan tsa’ (ts), serta titik di bawahnya ( ب ) untuk konsonan ba (b) atau dua titik dibawahnya (ي ) untuk huruf ya (y). symbol konsonan و di beri titik diatasnya ( ف ) untuk melambangkan konsonan fa (f), atau dua titik di atasnya (ق) untuk konsonan qaf (q), sementara konsonan waw (w) tidak diberi titik (و). Demikian pula, dua huruf mati yang berbeda tapi dilambangkan dengan symbol senada, salah satunya di bubuhi titik – titik diakritis untuk membedakannya: dal (d) tanpa titik (د), dzal (dz) diberi titik diatasnya (ذ) ; ra (r) tanpa titik (ر ), za (z) diberi datu titik diatasnya (ز); sin (s) tanpa titik (س), syin (sy) di beri tiga titik diatasnya (ش). Titik diakritisi ini di warnai dengan tinta yang sama uintuk menulis huruf, sehingga bisa dibedakan dari titik yang di introduksi Al Du’ali untuk vokalisasi teks.



Sejarah Al-Qur'an

AL-QUR'AN♥

Pendahuluan
Al-Quran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacriticalmarks) dan otografi yang bervariasi.

Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.

Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.

Sebelum Uthman bin Affan (thn 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, perbedaan itu hanya berdasarkan perbedaan dialek antara suku-suku Arab, sehingga tidak merubah Substansi dari Al Qur’an itu sendiri.
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (thn 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Tetapi keyakinan tersebut berhasil dipatahkan oleh Khlaifah Ustman dengan mengutip hadist Nabi : “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan bismillah maka pekerjaannya menjadi sia-sia.” Kat-kata Bismillah memang menjadi pembuka ayat dalam surat Al Fatihah.

Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Alasan tersebut dimungkinkan untuk penyeragaman dialek dan bacaan Al Qur’an serta susunan Ayat yang menurut mushaf-Mushaf lainnya tidak teratur,dan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya.

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, dan untuk menertibkan dialeg , susunan surat serta tanda baca yang berbeda maka pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).

Kondisi Jazirah Arab Sebelum Al Qur’an diturunkan

A. Situasi Politik
Jazirah arab terletak sangat terisolasi baik dari sisi daratan maupun lautan, di kawasan inilah Nabi Muhammad memperjuangkan risalah-ridalah ilahinya, perselisihan yang membawa peperangan dalam sekala besar-besaran di setepa-setepa jazirah tersebut, Arabia mwrupakan kawasan yang kecil, meskipun memiliki posisi yang cukup penting sebagai kawasan penyangga dalam ajang perebutan kekuasan politik di timur tengah, yang ketika itu di domisi oleh imperium raksasa Bizantium dan Persia.
Wilayah kekuasan Bizantium/Romawi timur yang beribukota di Konstatinopel pada abad ke 7 sudah ,meliputi sebgian Asia, Siria, Mesir dan bagian tenggara Eropa, musuh besar Bizantium dalam perebutan kekuasaan di timur tegah adalah Persia,yang mana wilayah kekuasaannya terbengtang dari irak dan mosopotamia hingga pedalaman timur iran hingga afganistan, ibu kota imprium ini adalah al-mada’in terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota Baghdad,perebutan kekuasam ke dua imprium adidaya di atas nemiliki pengaruh yang nyata terhadap situasi politik di Arabia ketika itu kira-kira pada tahun 521 M. kerajaan kriaten abisinia dengan dukungan penuh Bizantium menyerbu daratan tinggi yaman yang subur di barat daya Arabia, memandang serbuan tersebut sebagai ancaman terhadap kekuasaanya, dzunnuwas, penguasa Arabia selatan yang pro Persia, bereaksi dengan nenbantai orang-orang Kristen najran yang menolak memeluk agana yahudi, yang akhirnya pada tahun 525 dzunnuwas berhasil di gulingkan dari tahtanya melalui penyerangan yang di lakukan orang-orang abisinia, tetapi sekitar 575 daratan tinggi yaman berhasil di kuasai Persia, peristiwa ini memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruh jazirah arab.
Menjelamg lahirnya nabi Muhammad penguasa Abisinia Abrahah melakukan infasi kemekah, tetapi gagal menaklukkan kota tersebut lantaran karena terkena malapetaka yang begitu dahsyat, yang di kisahkan dalam al-qur’an surat 105, pada perinsipnya penyerbuan tersebut memiliki tujuan yang secera sepenuhnya berada dalam kerangka politik inter nasional ketika itu,yaitu upaya bizantiom untuk menyatukan suku-suku arab supaya berada di bawah pengaruhnya guna menantang Persia, sementara sejarawan muslim menambahkan tujuan lain untuknya.Menurut mereka panyerangan teraebut di maksid untuk menyerang ka’bah, dalam rangka menjadikan gereja megah di san’a yang di bangun abrahah sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia, ini adalah sebagian contoh kecil masalah perebutan kekuasaan dan situasi politik yang berkembang pada masa itu.

B.Kehidupan di jazirah Arab
Tanah air petama islam, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur, sementara tanah air yang ke duanya, Yatsrib yang lebih kita kenal dengan Madinah adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga.kira-kira pada penghujung abad yang ke-6 para pedagang besar kota mekkah telah menguasai perniagaan yang lewat bolak-balik dari pingran pesisir barat Arabia ke laut tengah yang biasanya kafilah-kafilah dagang tersebut pergi ke selatan ( yaman ) di musim dingin dan ke utara di musim panas (syiria) di tangan kafilah-kafilah inilah, orang-orang mekah melakukan eksistensinya yang asasi. Di lembah kota mekah yang tandus,pertanian dan perternakan adalah impian indah disiang bolong, kota ini bergantung pada import bahan makanan, karna itu kehidupan ekonominya yang khas adalah di bidang perniagaan, dan kemungkinan besar hanya bersifat moneter.

Namun di tengah-tengah masyarakat niaga ini,sebagai mana halnya dalam nasyarakat-masyarakat niaga pada umumnya, muncul masalah-masalah ketidak seimbangan dan pergolakan sosial seperti tukar-menukar dan timbang-menimbang yang tidak sesuai dengan ketentuan serta praktek riba yang menjadi fenomena umum, yang mana akan memperlebar kesenjangan sosial yang mengakibatkan banyaknya penindasan kepada yang lemah dan neraka perbudakan,yang mana mereka menganggap kehidupan hanyalah didunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kecuali masa seperti yang diterangkan dalam Al Quran 45 : 24 dan mereka berkeyakinan bahwa kita sama sekali tidak dibangkitkan.
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir, untuk menghadapi musuh dan tolong menolong melawan keganasan alam, orang – orang Arab menyatukan dirinya dalam kelompok – kelompok yag biasanya didasarkan pada pertalian darah. Kesetiakawanan kesukuan merupakan persyatan mutlak dalam kehupan liar di padang pasir, tanpa suatu tarap solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapapun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi. Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi buta kepada saudara – saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru apa benar.
Secara politik Nabi Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan didalam masyarakat kota Makkah, khususnya pada tahun – tahun pertama aktivitas kenabiannya. Beliau bisa bertahan hidup dikota ini sekalipun dalam posisi yang sangat keras. Kerena beliau berasal dari bani Hasyim, yaitu suatu klan yang relatif cukup kuat maka kehidupan beliau ada yang melindunginya, sekalipun banyak yang tidak setuju dengan Agama barunya. Tapi kemudian Nabi melakukan hijrah setelah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa kepemimpinan Abu lahab, barangkali inilah yang melatar belakangi kecaman keras Al Quran terhadapnya ( 111 : 1 – 5 ).
Ini adalah sebagian kecil dari kisah sejarah Arab pada masa lampau sebelum diutusnya Rosulullah. Kalau kita telusuri kisah-kisah diatas tentunya kiya dapat menyimpulkan betapa besarnya jasa beliau Rosulullah didalam mengehtaskan moral-moral dan keyakinan mereka menuju suatu kehidupan yang agamis

C. Suasana Keagamaan
Disekitar Madinah, Taimak, Fadak, Khoibar, Wadil quro serta Yaman terdapat sejumlah pemukiman Yahudi. Keberadaan orang – orang yahudi di Arabia bisa ditelusuri mulai abad pertama masehi. Penaklukan Yerussalem oleh kaisar Titus ( sekitar 70 M ) serta penumpasan pemberontakan Bar Kocbha ( sekitar 135 M ) barangkali inilah telah membuat orang – orang Yahudi di kota tersebut terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara dan kemudian menetap di Arabia. Alfred Guillaume menyebutkan 6 kota arab yaitu Hijjr, Ula, Taimak, Khoibar, Thaif dan Madianah yang menjadi tempat pemuikiman Yahudi. Kota Makkah tidak dimasuki, karena merupakan pusat penyembahan berhala. Sekalipun demikian, orang –orang Quraisy mengenal dengan baik agama Yahudi, karena kota itu berada di jalur perniagaan Yaman dan Syiria.
Agama kristen memiliki sejumlah pengikut dari orang badui yang tinggal di dekat perbatasan Syiria dan di Yaman khususnya ketika negeri ini berada dibawah kekuasaan Abesinia. Di Makkah sendiri ada sejumlah individu terpencil seperti Waraqah Ibnu Naufal, sepupu istri pertama nabi Muhammad ( Khodijah ) yang menjadi pengikut kristus. Meskipun ada individu – individu tertentu dari kalangan pemeluk agama Yahudi dan kristen di Arabia yang telah menerima ajaran –ajaran agama mereka secara sistematis. Belakangan sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad, dan sebagian lagi tidak. Kebanyakan orang arab yang mengikuti kedua agama ini memiliki penetahuan yang kacau balau tentang agamanya, sebagian pribumi Arab yang beraganma Yahudi, misalnya, tidak mengetahui alkitab (Taurot) kecuali hayalan belaka dan mereka hanya menduga – duga ( 2 : 78 ) bahkan AlQuran mentamsilkan orang – orang yahudi yang memiliki Taurot tetapi tidak memperoleh manfaat darinya sebagai keledai yang dibebeni kitab ( 62 : 5 ). Dikatakan bahwa orang – orang yahudi, sebagaiman halnya orang – orang kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai arbab ( bentuk jamak dari rabb, “tuhan” ) selain Allah ( 9: 31 ). Juga terdapat kepercayaan yang berkembang dikalangan yahudi arab bahwa Nabi Uzair adalah putra Allah ( 9 : 30 ).
Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya adalah politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui dan menerima gagasan tentang Allah sebagao pencipta alam, tetapi menyembahan aktual mereka pada faktanya ditunjukkan kepada tuhan-tuhan lain yang di pandang sebagai perantara-perantara kepada Allah. Namun dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap tersebut. Ketika dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan tuhan dengan ketulusan yang sangat. Tetapi, setelah lepas dari mara bahaya, mereka melupakannya dan kembali menyekutukan Tuhan.